JAKARTA - Sudah bukan rahasia, Bali salah satu surganya pengembara digital alias digital nomad. Tidak hanya karena iklim tropisnya, tapi juga karena rendahnya biaya hidup di sana. Tapi bukan rahasia lagi, banyak digital nomad yang berbasis di Bali beroperasi secara diam-diam.

Mereka umumnya datang sebagai turis, tapi menyelesaikan pekerjaan mereka di sana untuk perusahaan-perusahaaan yang berbasis di luar negeri. Mereka legal berada di Bali, tapi menghindar dari kewajiban membayar pajak penghasilan di Indonesia.

Paling tidak, itu diakui Sarah, bukan nama sebenarnya, seorang penerjemah dari Spanyol. "Saya terpaksa mengaku sebagai turis. Saya beberapa kali keluar masuk Bali, untuk bisa bekerja di sini. Kadang ke Singapura, kadang ke Malaysia, baru kembali lagi ke sini," katanya, baru-baru ini.

Namun, dia membantah tidak bersedia membayar pajak. Ia mengaku memenuhi kewajiban pajaknya lewat perusahaan tempatnya bekerja di Spanyol. Lagi pula, dia berada di Bali untuk periode 3-4 bulan seperti turis pada umumnya. Dia berencana pindah ke Bangkok setelah dari Bali.

Pengakuan serupa disampaikan John, juga bukan nama sebenarnya, seorang kreator konten dari Amerika. "Senang sih tinggal di Bali, tapi selalu deg-degan karena merasa diintai petugas imigrasi," tuturnya.

Pulihkan Perekonomian

John menganggap kehadirannya di Bali menguntungkan dan tidak merugikan masyarakat setempat. Digital nomad seperti dirinya dan teman-temanya ikut membantu memulihkan perekonomian masyarakat Bali. Dalam sebulan, ia menghabiskan rata-rata 2.000-2.500 dollar AS untuk berbagai keperluan.

John enggan mengungkapkan telah berapa lama tinggal di Bali. Ia hanya mengatakan telah beberapa kali ke luar masuk Bali, demi mempertahankan legalitas izin tinggalnya, seperti halnya teman-temannya.

Saat ini, pengunjung asing memang bisa mendapatkan visa turis selama maksimal 60 hari atau melewati berbagai rintangan hukum untuk mendapatkan izin kerja sementara enam bulan. Tetapi, siapa pun yang tinggal di Indonesia selama lebih dari 183 hari dalam setahun, secara otomatis diharuskan membayar wajib pajak daerah, yang berarti dikenai tarif pajak Indonesia atas penghasilan luar negerinya.

Bagaimana dengan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS)? Banyak orang awam beranggapan, itu adalah solusi terbaik untuk para digital nomad. Anggapan itu keliru. KITAS hanya bisa diperoleh mereka yang sudah lama berinvestastasi di Indonesia atau mereka yang bekerja untuk perusahaan yang beroperasi di Indonesia.

Paling tidak itu dibenarkan Agung Suryawan Wiranatha, Ketua Pusat Keunggulan Pariwisata, Universitas Udayana, Bali. "Kalau perusahaannya di Amerika dan kemudian dia bekerja online di Bali, dia tidak akan mendapat KITAS karena dia tidak bekerja untuk perusahaan di Indonesia," katanya.

Agung menyambut positif janji Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, untuk mengembangkan jenis visa bagi pengembara digital ini. Dunia digital semakin berkembang sehingga sudah sepantasnya Indonesia memanfaatkan peluang ini.

"Sebenarnya, trennya ke depan ini adalah digital semua. Makanya, pemerintah melihat adanya peluang perkembangan digital nomad. Tahun 2015 mulai merangkak, dan tahun 2018 mulai ramai, namun kemudian ada Covid-19. Kalau tidak ada Covid-19, akan semakin banyak digital nomad yang datang," ujar Agung.

Visa digital nomad Indonesia akan berlaku selama lima tahun, dan Indonesia tidak akan mengenakan pajak atas pendapatan yang diterima dari luar negeri. Uno juga menjanjikan persetujuan visa yang lebih cepat dan frekuensi penerbangan luar negeri yang lebih banyak.

Baca Juga: