JAKARTA - Program pemulihan ekonomi nasional yang digencarkan pemerintah guna menumbuhkan perekonomian pada kuartal III-2020 harus diiringi dengan kebijakan yang pro investasi sehingga bisa menarik foreign direct investment atau penanaman modal asing (PMA).

Selain memperbaiki iklim investasi, Indonesia dipandang perlu melakukan terobosan yang bisa membuat perusahaan yang sudah ada maupun calon investor biayanya lebih efisien, sehingga produk mereka kompetitif dengan negara-negara lainnya di kawasan regional Asean, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Ekonom dari Universitas Hasanuddin Makassar, Agussalim, yang dikonfirmasi, Jumat (17/7), mengatakan salah satu variabel penting dalam menarik PMA adalah kepastian pajak, bukan hanya besarannya tetapi juga strukturnya.

"Di tengah situasi seperti ini, pemerintah memang perlu merelaksasi pajak, mulai dari penurunan tax rate, keringanan pajak, hingga tax holiday untuk jangka waktu tertentu," kata Agussalim.

Negara Asean, jelasnya, yang setara dengan Indonesia sudah menurunkan tax rate 17 persen supaya mereka kompetitif.

"Kalau ada wacana membuat tarif pajak progresif, siapa yang mau datang ke kita. Jangan karena pendapatan menurun, malah ambil obat yang justru mematikan," katanya.

Selain pajak, hal lain yang perlu diperhatikan dalam menarik PMA adalah perizinan, baik lamanya dan biaya yang dikeluarkan untuk mengurus. Demikian juga dengan prosedur tender dan pengurusan dokumen ekspor dan impor.

"Hal-hal inilah yang masih perlu dibenahi agar peringkat Indonesia dalam laporan Ease of Doing Business di posisi 73 bisa turun agar dapat menyaingi Vietnam, Brunei, Thailand, apalagi Malaysia dan Singapura," katanya.

Belum Efektif

Sementara itu, Ekonom dari Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan dalam sebuah diskusi dengan beberapa perusahaan Jepang yang ada di Indonesia, mereka mengakui banyak terdampak Covid-19.

"Insentif fiskal berupa tax reduction yang ada saat ini dari pemerintah Indonesia sudah tidak efektif mengurangi biaya karena pengurangan pajak dan penundaan pajak tidak sebanding lagi dengan pendapatan perusahaan yang turun drastis," kata Esther.

Hal itu berarti perlu tambahan insentif, baik berupa penurunan tarif pajak maupun berbagai kebijakan lain yang terkait dengan kemudahan investasi.

"Jika iklim investasi masih tidak kompetitif di Indonesia, bukan tidak mungkin mereka pindah ke negara lain yang cost of doing business-nya lebih murah," kata Esther.

Dorong Pertumbuhan

Menurut Esther, pada 2019- 2020 ranking Indonesia dalam Ease of Doing Business (EODB) masih sama yaitu 73, namun skor EODB mengalami perbaikan dari 67,96 pada 2019 menjadi 69,96 pada tahun 2020. Perbaikan skor itu disebabkan ada perbaikan iklim berusaha di dua kota yakni Jakarta dan Surabaya yang menjadi sampel pengukuran EODB.

Meski ada perbaikan pada indikator memulai bisnis, ketersediaan listrik, perdagangan lintas batas dan kepastian hukum kontrak, namun Indonesia masih harus mengejar besaran investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang telah ditargetkan pada rencana pembangunan tahun 2020-2024. ers/E-9

Baca Juga: