Serangkaian kebijakan stimulus, baik fiskal maupun moneter, untuk mendorong kredit di tengah lesunya daya beli masyarakat dikhawatirkan dapat meningkatkan risiko kredit macet.

JAKARTA - Resep stimulus fiskal dan moneter dari pembuat kebijakan disangsikan efektivitasnya memulihkan perekonomian dari sisi peningkatan kredit, terutama perumahan dan kendaraan. Sebab, daya beli masyarakat saat ini masih lemah di tengah pandemi Covid-19.

Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Indef, Riza Annisa Pujarama pesimistis terhadap efektivitas dari relaksasi kebijakan makroprudensial Bank Indonesia (BI), berupa pelonggaran uang muka (DP) kredit properti dan kendaraan. Sebab, daya beli masyarakat saat ini masih lemah akibat dampak krisis ekonomi dan kesehatan.

Terlebih lagi, hasil survei BI menunjukkan masyarakat menahan konsumsi untuk barang sekunder dan tersier. Hal lainnya adalah penghasilan masyarakat turun. Indikasi tersebut terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Januari 2021 sebesar 84,9 lebih rendah dari bulan sebelumnya yang masih di angka 96,5.

Menurut Riza, kunci utama pemulihan ekonomi ada pada penangangan pandemi Covid-19. "Peningkatan demand (kredit) dengan adanya DP 0 persen ini sangat tergantung pada bertambah tidaknya pendapatan masyarakat itu sendiri," ujar Riza, di Jakarta, Kamis (25/2).

Kebijakan ini juga ditenggarai cukup berisiko karena dapat meningkatkan risiko kredit macet atau non performing loan (NPL) perbankan. Karena itu, perbankan sangat berhati-hati menyalurkan kredit.

"Pendapatan masyarakat kan turun, makanya perbankan selektif untuk memberi pinjaman mengingat risiko kemampun membayar cicilan bagi nasabahnya," tegas Riza.

Seperti diketahui, pemulihan ekonomi dalam negeri terus dipacu setelah program vaksinasi Covid-19 dimulai. Pedal "gas" kini mulai diinjak oleh pembuat kebijakan di dalam negeri untuk memacu mesin pertumbuhan ekonomi yang telah lesu darah. Berbagai stimulus, baik fiskal dan moneter diluncurkan dengan harapan dapat mengakselerasi kembali kegiatan ekonomi di masyarakat.

BI memperlonggar kebijakan moneter dan makroprudensial dalam rangka untuk mendukung pertumbuhan kredit di dalam negeri. Selain memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,5 persen, bank sentral merelaksasi kebijakan uang muka atau down payment (DP) kredit kendaraan bermotor paling sedikit nol persen untuk semua jenis kendaraan bermotor baru dan uang muka Kredit Pemilikan Rumah (KPR) paling tinggi 100 persen berlaku 1 Maret-31 Desember 2021.

Injeksi Likuiditas

Tak hanya itu, BI juga melakukan injeksi likuiditas atau quantitative easing sebesar 759,31 triliun rupiah atau sekitar 4,9 persen dari produk domestik bruto (PDB) sejak 2020. Ini termasuk terbesar di antara negara berkembang.

"Seluruh instrumen bauran kebijakan BI itu untuk mendorong momentum pemulihan ekonomi. Tentu kami berkoordinasi dengan pemerintah bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)," ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam CNBC Oulook2021, di Jakarta, Kamis (25/2).

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana menerbitkan peraturan untuk merelaksasi penyaluran kredit kendaraan bermotor dari perbankan, guna melengkapi stimulus fiskal pemerintah melalui pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) per 1 Maret 2021.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, optimistis pelonggaran kredit akan menjadi pengungkit konsumsi. Karena selain mudah, masyarakat juga lebih cepat mendapatkannya.

Baca Juga: