Selama ini relaksasi ekspor diberikan pemerintah, namun tidak ada dampak nyata bagi kemajuan kebijakan hilirisasi mineral.

JAKARTA - Pemerintah perlu meninjau ulang pemberian relaksasi ekspor mineral logam untuk komoditas tembaga, besi, timbal, atau seng yang rencananya berlaku hingga 31 Mei 2024. Relaksasi ekspor dikhawatirkan dapat menghambat program hilirisasi di sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM), terutama di sektor mineral logam.

Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo) meminta pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut. Ketua Umum Aspebindo, Anggawira, menyampaikan relaksasi ekspor harusnya bukan peraturan yang berdiri sendiri, namun disertai pengawasan ketat. Lebih jauh, dia mengusulkan kebijakan alternatif yang mengatur per komoditas mineral.

"Sektor mineral ini produknya berbeda dan tantangannya juga berbeda. Apakah akan lebih baik jika ada aturan per komoditas supaya kita bisa mem-follow up (menindalanjuti, red) komoditas yang direlaksasi. Selama ini relaksasi diberikan, tapi tidak ada dampak nyata untuk kemajuan hilirisasi mineral yang menjadi misi pemerintah," ujar Anggawira dalam diskusi di Jakarta, Senin (19/6).

Wakil Ketua Umum Aspebindo, Fathul Nugoro, mengapresiasi kebijakan hilirisasi mineral yang sudah diterapkan Presiden Jokowi. Untuk itu, menurutnya tidak boleh ada alasan untuk menunda hilirisasi mineral yang telah didorong pemerintah.

"Kebijakan ini adalah kebijakan yang positif, karena dampaknya ini bisa sepuluh kali lipat begitu kebijakan hilirisasi ini yaitu di antaranya pelarangan ekspor mineral dan membangun industri smelter di dalam negeri. Untuk itu, pemerintah harusnya konsisten dan memberikan sanksi yang tegas," ujar Fathul.

Pada kesempatan sama, Direktur Hilirisasi Mineral dan Batu Bara Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Hasyim, memastikan langkah pemerintah sudah sesuai dengan semangat hilirisasi mineral. "Kita mengajak para investor dan daerah juga siap saat ini dan kita berikan dukungan kebijakan," tutur Hasyim.

"Bridging Policy"

Tim Bagian Hukum Energi Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Irine Handika, memandang relaksasi ekspor mineral ini harus ditindaklanjuti. Dia menyoroti perlu adanya bridging policy, yakni regulasi yang mengatur khusus masing-masing kelompok mineral.

"Kami mengusulkan adanya bridging policy yaitu kebijakan di bawah UU yang mudah untuk dieksekusi yaitu melalui R-Perpres. Diawali dengan mengidentifikasi mineral-mineral yang berperan penting dalam hilirisasi dan mengelompokkan dalam sebuah platform mineral kritis dan strategis," ujar Irine.

Irine juga menyoroti kedudukan hukum dari relaksasi ini karena seharusnya tata kelola undang-undang peraturan pemerintah tidak boleh menimbulkan norma baru.

"Kalau kita lihat yang namanya permen itu hanya boleh mengatur norma yang bersifat teknis adminstratif dan ada batasan tata undang-undang yaitu permen tidak boleh menimbulkan norma baru. Artinya, apakah sudah tepat pilihan kita untuk mengatur sebuah permen menjadi permen yang sangat powerfull, seperti yang saat ini sudah beberapa kali dilakukan," tutur Irine.

Baca Juga: