Sebuah studi yang diterbitkan di AGU Advance memungkinkan para ilmuwan untuk merekonstruksi dampak ekstrim tabrakan asteroid, termasuk asteroid Chicxulub yang memicu kepunahan massal yang memusnahkan sebagian besar dinosaurus dan tiga perempat spesies tumbuhan dan hewan di Bumi.

Asteroid selebar hampir sembilan mil bertabrakan yang dengan Bumi enam puluh juta tahun yang lalu itu menghasilkan "mega tsunami" besar dengan gelombang setinggi lebih dari satu mil atau 5280 kaki, yang membawa banjir di seluruh dunia. Mega tsunami itu disimulasikan dengan program komputer tiga dimensi yang memodelkan perilaku cairan bernama hydrocode. Program itu bekerja dengan memecah sistem secara digital menjadi serangkaian balok kecil seperti Lego, dan kemudian menghitung gaya yang bekerja padanya dalam tiga dimensi.

Dalam studi bertajuk The Chicxulub Impact Produced a Powerful Global Tsunami, seperti dikutip The Washington Post, para peneliti mengasumsikan asteroid yang menghantam tepat di utara Teluk Meksiko itu memiliki diameter 8,7 mil dan kepadatan sekitar 165 pon per kaki kubik, yang artinya seluruh asteroid Chicxulub kemungkinan memiliki berat sekitar dua kuadriliun pon. Mega Tsunami yang terjadi lebih dari 60 juta tahun lalu itu bahkan disebut berkekuatan 30 ribu kali lebih besar dari Tsunami dahsyat yang melanda Sumatera pada 2004 silam atau yang lebih akrab kita ketahui dengan Tsunami Aceh. Kala itu, lebih dari 200.000 orang tewas dalam Tsunami yang diikuti gempa berkekuatan 9,2 di pantai barat Sumatera Utara (Sumut).

Adapun setelah hydrocode menghasilkan simulasi tahap awal dampak 10 menit pertama tsunami, pemodelan selanjutnya diserahkan ke sepasang model yang dikembangkan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) untuk memberikan gambaran mengenai perambatan tsunami di seluruh lautan global, yang disebut MOM6. Untuk memproyeksikan hantaman tsunami, tim peneliti terpaksa membuat asumsi tentang batimetri, atau bentuk dan kemiringan dasar laut, serta kedalaman laut dan struktur kawah asteroid. Informasi itu, bersama dengan bentuk gelombang tsunami dari model hidrokode, diproses dengan MOM6.

Hasilnya, usai asteroid menabrak teluk, mega Tsunami dimulai dengan kenaikan permukaan air yang ekstrem dalam dua fase, yakni gelombang tepi dan gelombang tsunami berikutnya. Gelombang tepi itu bahkan bisa mencapai ketinggian satu mil yang tak terbayangkan, tepat sebelum tsunami benar-benar terjadi. Para peneliti menggambarkan gelombang tepi seperti percikan awal yang timbul ketika seseorang menjatuhkan batu ke dalam genangan air.

Setelah 10 menit pasca benturan berlalu, semua puing di udara yang terkait dengan asteroid dilaporkan jatuh ke Teluk. Membentuk semacam kawah dan menggusur air di lautan. Saat itulah tsunami mulai melesat melintasi lautan dengan kecepatan sebuah pesawat jet komersial.

"Benua terlihat sedikit berbeda. Sebagian besar Pantai Timur Amerika Utara dan pantai utara Afrika dengan mudah melihat gelombang setinggi 8 meter. Tidak ada daratan di antara Amerika Utara dan Selatan, jadi ombaknya masuk ke Pasifik," ujar Molly Range, seorang ilmuwan di University of Michigan dan peneliti terkait studi tersebut.

Selain membangun model, para peneliti juga meninjau bukti geologis dari tabrakan asteroid untuk mempelajari jalur dan kekuatan tsunami. Hasilnya, peneliti menemukan bukti bahwa gangguan besar pada lapisan sedimen di dataran tinggi, di lautan dan garis pantai di lebih dari 100 lokasi di dunia. Fakta ini sekaligus mendukung hasil dari simulasi model penelitian. Pemodelan ini setidaknya memperkirakan kecepatan aliran tsunami sebesar 20 sentimeter per detik di sebagian besar garis pantai di seluruh dunia. Kecepatan ini lebih dari cukup untuk mengganggu dan mengikis sedimen. Temuan geologis ini menambah kepercayaan pada simulasi model mereka. Kedepannya, tim berharap dapat mengetahui lebih jauh mengenai volume banjir yang mengiringi tsunami di berbagai belahan dunia.

Baca Juga: