JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan hasil kajian sektor pendidikan mengenai pengelolaan dana penelitian di Indonesia dan monitoring rencana aksi. Kajian ini dilakukan lembaga antirasuah itu pada tahun 2018.KPK telah menyusun 18 rencana aksi. Per 12 Juni 2020 satu rencana aksi telah selesai yaitu terkait regulasi.

"Namun, selama pendampingan KPK dalam proses implementasi rencana aksi, pemerintah telah merespons dengan melakukan sejumlah perbaikan dan perubahan terkait aspek regulasi dan kelembagaan pada Kemenristekdikti," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (16/6).

Ghufron merincikan sejumlah perbaikan itu, antara lain perubahan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdik) menjadi Kemenristek / Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN); diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Ristek Nomor 50 Tahun 2020; Perpres BRIN dan Nomenklatur belum selesai; serta, kesepakatan Mendikbud dan Menristek/BRIN tentang riset dan abdimas (dana BOPTN) di Ristek/BRIN.

Melihat hal itu, kata Ghufron, pada Selasa (16/6) KPK kembali bertemu dengan Menristek/BRIN, Bambang Brodjonegoro untuk membahas kajian ini.Ghufron menjelaskan latar belakang adanya kajian ini karena anggaran peneltiian di Indonesia sangat rendah; pelaku riset di Indonesia 84 persen dilakukan oleh pemerintah dan hanya 16 persen oleh swasta.

"Beragamnya instiutsi pelaku riset di Indonesia; pemerintah sudah menetapkan Rencana Induk Riset Nasional, Agenda Riset Nasional, dan Prioritas Riset Nasional (PRN). Kemudian, motivasi pelaksanaan riset di kementerian/lembaga cenderung pada penggunaan anggaran yang tersedia, di perguruan tinggi lebih banyak pada pemenuhan angka kredit dan jurnal penelitian; dan adanya laporan pengaduan masyarakat terkait penelitian fiktif, tumpang tindih pemotongan berupa management fee, pemberian dan penggunaan tidak sesuai ketentuan, serta pengendapan dana penelitian," kata Ghufron.

KPK memandang penting kajian di sektor pendidikan ini mengingat kondisi Lembaga Litbang tersebar tanpa koordinasi; anggaran tersebar dan tidak terhitung secara riil; dan tidak ada standar luaran (output) kegiatan penelitian dan pengembangan."Kajian ditujukan untuk mengatasi persoalan efektivitas dan inefisiensi dalam pengelolaan dana penelitian sebagaimana hasil kajian, yaitu regulasi, kelembagaan; tata kelola hingga Sumber Daya Manusia (SDM)," jelasnya.

Pada 2019, KPK telah menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada Kemenristekdikti yaitu perlunya PRN sampai level luaran, aturan untuk mematuhi dan dukungan anggarannya; menguatkan Kemenristekdikti menjadi lembaga yang mengoordinasikan pelaksanapenelitian; perlunya perbaikan tata kelola anggaran Litbang nasional dan luaran penelitian; dan organisasi profesi bekerja sama dengan instansi pembina menerbitkan kode etik peneliti dan mekanisme penegakannya.

"Merespon sejumlah perubahan terkait regulasi dan kelembagaan, KPK bersama Kemenristek/BRIN akan menyusun kembali rencana aksi menyesuaikan dengan perkembangan saat ini," sambung Ghufron.

Bambang menyampaikan sepakat dengan kesimpulan dari kajian KPK. Ia mengaku telah melaporkan perkembangan dari rencana aksi yang direkomendasikan KPK kepada Kemenristekdikti yang kini berubah menjadi Kemenristek / BRIN.

"Kami sudah rencana induk 2017-2045 yang kemudian diterjemahkan dalam prioritas lima tahunan sesuai dengan masa kabinetnya. Sehingga pada saat ini kita punya yang namanya prioritas riset nasional 2020-2024 yang berfokus pada 49 keluaran. Untuk mencapai target, selain kita mengalokasikan anggaran, kami melakukan konsolidasi dan koordinasi dari sumber daya yang ada baik sumber daya dalam bentuk SDM peneliti perekayasa maupun juga pada aset seperti laboratorium ataupun peralatan untuk mendukung penelitian," katanya.

Terkait dengan dana riset, Bambang mengaku pihaknya mengalami kesulitan untuk menghitung dana riset. Ini tersebar begitu banyak di kementerian/lembaga, dan jumlahnya tidak besar karena harus dibagi dengan lembaga pemerintah, non kementerian dan Litbang K/L. ola/N-3

Baca Juga: