Pengembangan PLTS atap perlu disinergikan dengan kebijakan penggunaan komponen lokal (TKDN)) agar manfaat ekonominya lebih besar lagi.

JAKARTA - Penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap ke depan diperkirakan terus bertambah karena teknologinya semakin mutakhir. Meski demikian, kebijakan pemerintah mendorong penggunaan PLTS atap berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian pelanggan listrik PT PLN.

Indonesia memiliki potensi PLTS atap cukup besar, mencapai 32.500 megawatt (MW). Namun, pemanfaatannya baru sebesar 31,32 MW peak (MWp). Hingga Mei 2021, PLTS atap tercatat digunakan oleh 3.781 pelanggan atau meningkat drastis dibandingkan pemanfaatan posisi pada November 2018 sebanyak 592 pelanggan.

Direktur Strategi Bisnis dan Portofolio PT Len Industri (Persero), Linus Andor Mulana Sijabat, mengatakan saat ini teknologi yang digunakan pada panel surya sudah mutakhir. Penggunaannya tidak lagi rumit. Panel surya hanya perlu diletakkan di area yang terkena sinar matahari langsung, misalnya di atap rumah atau gedung, sudah dapat mengalirkan listrik.

"Kalau kita lihat, solar cell sebenarnya sudah tidak high tech, dapat langsung dipakai. Tinggal dijemur saja ke (sinar) matahari, langsung keluar listrik. Ini sudah umum," ujar Linus pada Peluncuran Program Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya (Gerilya), Jumat, pekan lalu.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan 70 MWp PLTS atap terpasang pada akhir tahun ini. Dengan teknologi kian mutakhir dan biaya makin ekonomis, pemerintah mendorong pemanfaatan PLTS atap secara luas dengan menerbitkan aturan yang ramah bagi pengguna PLTS atap.

Saat ini tengah disusun Rancangan Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.

Picu Ketidakadilan

Namun, upaya pemerintah mendorong penggunaan PLTS atap dengan mengubah regulasi harga beli listriknya dari 65 persen menjadi 100 persen bisa memicu ketidakadilan bagi mayoritas pelanggan PLN.

Pakar energi listrik dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung (ITB), Nanang Hariyanto, melalui keterangan tertulis, Minggu (15/8), mengatakan jika dipasang PLTS atap, beban di rumah akan mengambil lebih dulu energi dari PLTS atap.

Sisanya dari solar radiasi yang dihasilkan kemudian dikirim ke jaringan PLN. Dari jaringan PLN kemudian dikirim ke rumah-rumah yang lain. Harga listrik sisa harus dibeli PLN dengan harga yang sama dengan harga jual listrik PLN sebesar 1.440,7 rupiah per KWh.

Menurut Nanang, harga jual listrik dari PLTS atap lebih mahal dibandingkan pembangkit PLTS nonatap. Contohnya, PLTS nonatap seperti PLTS Cirata harga jual listriknya adalah 4 sen dollar AS per KWh atau setara 600 rupiah per KWh. Sedangkan PLTS atap dijual ke PLN seharga 1.440 rupiah per KWh. "Akibatnya, tentu saja biaya pokok produksi (BPP) PLN akan naik," katanya.

Secara terpisah, Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, berharap regulasi terkait PLTS atap harus jelas dengan memperhatikan banyak aspek. Apalagi saat ini mayoritas komponennya masih impor. "Pengembangan PLTS atap perlu disinergikan dengan kebijakan TKDN (penggunaan komponen lokal) agar manfaat ekonominya lebih besar lagi," ujarnya.

Baca Juga: