Sertifikasi karbon nantinya dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sementara tata kelola perdagangan karbon akan di bawah kewenangan Otoritas Jasa Keuangan.

JAKARTA - Pemerintah terus menggodok rencana penerapan perdagangan karbon di Tanah Air. Saat ini, peraturan mengenai perdagangan karbon masih dimatangkan sehingga nantinya dapat dioptimalkan sebagai sumber pendapatan negara.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, mengatakan regulasi mengenai optimalisasi perdagangan karbon saat ini dalam proses penyelesaian. "Jadi, regulasinya dalam proses penyelesaian. Tetapi mungkin yang paling berwenang nanti tuh dari OJK sama keuangan (Kementerian Keuangan)," ujar Arifin usai mengikuti rapat terbatas optimalisasi kebijakan perdagangan karbon yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (3/5).

Menurut Arifin, untuk mengoptimalkan perdagangan karbon diperlukan penyiapan Sistem Registri Nasional (SRN), untuk selanjutnya dimatangkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dia mengatakan terkait perdagangan karbon, pihaknya di Kementerian ESDM hanya sebagai pendukung untuk menentukan sumber-sumber, suplai karbon.

Arifin menyampaikan kementeriannya ingin menjadi motor untuk model transisi hijau ke depan. Menurutnya, perdagangan karbon dapat dimulai dari skala kecil untuk kemudian dilengkapi dan disempurnakan kekurangannya.

Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 Ayat 6 Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Perubahan Iklim, perdagangan karbon adalah kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Melalui perdagangan itu, harapannya tingkat emisi di bumi bisa berkurang, serta juga meminimalkan dampak perubahan iklim.

Data Kementerian ESDM menyebutkan capaian penurunan emisi CO2 sebesar 40,6 juta ton (2018), 54,8 juta ton (2019), 64,4 juta ton (2020), 70 juta ton (2021), 91,5 juta ton (2022), dan pada 2023 diproyeksikan bisa 116 juta ton.

Potensi Besar

Pada kesempatan sama, Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengatakan pemerintah akan mengatur tata kelola perdagangan karbon agar dapat dioptimalkan sebagai sumber pendapatan negara. Dia mengatakan sertifikasi karbon akan dilakukan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Nantinya tata kelola perdagangan karbon akan ada di bursa karbon di bawah kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Lebih jauh, dia memperkirakan nilai investasi perdagangan karbon sangat besar dan saat ini tengah dilakukan penghitungan. "Karbon Indonesia tidak boleh dikapitalisasi negara lain, terutama negara tetangga yang tidak punya penghasil karbon," ujarnya.

Indonesia disebut memiliki potensi pasar karbon yang besar. Dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia seluas 125 juta hektare, Indonesia memiliki potensi besar memimpin pasar karbon yang diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon.

Perdagangan karbon menjadi salah satu cara untuk mengontrol emisi karbon di suatu negara. Pemerintah Indonesia mencanangkan target dalam Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 sekaligus net zero emission (NZE) atau nol emisi pada 2060. Dalam dokumen NDC itu, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri, dan sebesar 43,20 persen dukungan internasional pada 2030 nanti.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan mekanisme perdagangan karbon kliring diatur melalui Sistem Resi Gudang atau SRG.

Baca Juga: