Peraturan saat ini dinilai menyulitkan investor untuk melihat manfaat finansial yang dapat diperoleh dari pemasangan sistem listrik tenaga surya atap.

Jakarta- Kebijakan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), khususnya tenaga surya, dinilai belum ramah terhadap investasi. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan menghambat upaya pengembangan energi listrik dengan teknologi ramah lingkungan di Indonesia.

Berdasarkan hasil riset Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Indonesia masih ketinggalan dari tetangganya di kawasan Asia dalam mengembangkan listrik tenaga surya. Padahal, potensi tenaga surya di Indonesia sangat besar mengingat kondisi geografisnya.

"Walaupun potensi tenaga surya melimpah di Indonesia, tetapi pemerintah terus menyusun kebijakan yang menjadi rintangan bagi pengembangan listrik tenaga surya, khususnya bagi kebutuhan komersial dan hunian," ujar peneliti IEEFA, Elrika Hamdi, selaku penulis kajian tersebut, dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Rabu (27/2).

Kajian IEEFA menegaskan hanya 24 MW listrik tenaga surya, termasuk listrik tenaga surya atap, yang saat ini sudah dipasang dan dapat disalurkan melalui jaringan ketenagalistrikan di Indonesia.

Di saat bersamaan, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai BUMN ketenagalistrikan dinilai terbebani oleh rencana ketenagalistrikan berbasiskan batu bara. Padahal, rencana tersebut sifatnya tidak fleksibel dan berbiaya tinggi sehingga memberikan tantangan berat bagi pengoperasian jaringan ketenagalistrikan Indonesia.

Berdasarkan kajian IEEFA, peraturan saat ini dinilai menyulitkan investor untuk melihat manfaat finansial yang dapat diperoleh dari pemasangan sistem listrik tenaga surya atap (PLTS atap). Hal ini diakibatkan dari rancangan peraturan PLTS atap itu sendiri.

Selain itu, berbagai hambatan dalam pengembangan PLTS yang terkoneksi jaringan adalah sebagai berikut, pertama ketentuan BOOT (Built, Operate, Own and Transfer), di mana kepemilikan proyek dialihkan pada PLN setelah masa kontrak selesai. Ini terlepas dari nilai aset dan manfaat residual berjalan. Ketentuan ini mengurangi tingkat keekonomian proyek listrik tenaga surya.

Kedua, pengembang listrik tenaga surya diwajibkan menggunaan kandungan lokal. Padahal, komponen lokal panel surya masih mahal dengan kualitas lebih rendah ketimbang produk impor. Di saat bersamaan, tidak terdapat ruang gerak bagi produsen panel surya lokal mengembangkan kapasitas manufaktur dan produksi dengan skala keekonomian.

Ketiga, pengembang listrik tenaga surya dipaksa menerima harga yang di patok berdasarkan harga listrik base load berbasis batubara yang selama ini mendapatkan manfaat dan subsidi dari negara.

Kebijakan Berganti

Sementara itu, Direktur AKUO Energy, Refi Kunaefi, selaku pengembang listrik tenaga surya di Indonesia, memaparkan sepak terjangnya dalam merintis usaha ketenagalistrikan di saat kebijakan banyak berganti dan menjadi kurang mendukung bagi pengembangan teknologi murah dan ramah lingkungan. mad/Ant/E-10

Baca Juga: