Pemerintah Indonesia pada 2020 merilis Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia (Stranas KA) yang memuat tentang etika dan kebijakan AI. Namun bukanlah dokumen hukum yang mengikat.
M. Irfan Dwi Putra, Universitas Gadjah Mada
Perkembangan kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI) telah menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Telah banyak bermunculan berbagai program AI yang dapat mempermudah pekerjaan manusia, mulai dari aplikasi penerjemah, asisten virtual, hingga aplikasi penghasil karya seni.
Meski demikian, penggunaan AI juga berpotensi melanggar sejumlah aspek terkait privasi, data pribadi, dan hak kekayaan intelektual.
Untuk mengatasi isu tersebut, sejumlah negara mengembangkan berbagai model regulasi untuk mengatur pengembangan dan pemanfaatan AI.
Uni Eropa, misalnya, pada 9 Desember 2023, melalui Dewan dan Parlemen Uni Eropa, telah menyepakati rancangan akhir EU AI Act-regulasi AI berbasis hard law yang berlaku secara horizontal dan bersifat one size fits all bagi seluruh sektor yang melibatkan teknologi AI dalam aktivitas bisnisnya.
Inggris mengedepankan konsep yang diklaim pro-innovation dengan tujuan agar regulasi yang ada mendukung inovasi AI dan bukan menghambatnya.
Sementara Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu negara terdepan dalam pengembangan AI sejatinya belum memiliki regulasi khusus terkait hal tersebut. Namun, pada 30 Oktober 2023, Presiden AS Joe Biden mengeluarkan Executive Order on Safe, Secure, and Trustworthy Artificial Intelligence yang memuat sejumlah standar dalam pengembangan dan pemanfaatan AI.
Lalu, bagaimana dengan model pengaturan AI di Indonesia?
Regulasi AI di Indonesia saat ini
Sampai hari ini, Indonesia belum memiliki regulasi khusus terkait AI. Pada tahun 2020, pemerintah Indonesia merilis Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia (Stranas KA) yang memuat tentang etika dan kebijakan AI, pengembangan talenta AI, serta ekosistem data dan infrastruktur pengembangan AI. Namun, Stranas AI bukanlah dokumen hukum yang mengikat, melainkan hanya arah kebijakan nasional saja.
Meski demikian, bukan berarti pemerintah Indonesia absen dalam mengatur teknologi AI. Terdapat sejumlah peraturan yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi AI di Indonesia, misalnya Permenkominfo Nomor 3 Tahun 2021 yang mengatur aspek perizinan bagi pelaku usaha yang memanfaatkan AI.
Ada juga UU ITE beserta peraturan turunannya yang mengatur tentang AI dengan terminologi agen elektronik. Ada UU Pelindungan Data Pribadi yang mengatur pemanfaatan AI yang menyangkut pemrosesan data pribadi. Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) juga telah mengeluarkan panduan etika pemanfaatan AI bagi pelaku usaha yang tertuang dalam Surat Edaran Menkominfo Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial.
Upaya meregulasi pemanfaatan AI juga telah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK menunjuk Asosiasi Financial Technology Indonesia (AFTECH) bersama asosiasi industri lainnya yakni AFSI, AFPI dan ALUDI untuk menyusun dan menetapkan Panduan Kode Etik Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) yang Bertanggung Jawab dan Terpercaya di Industri Teknologi Finansial yang diluncurkan pada awal Desember 2023 silam. Selain itu, OJK juga sedang menyusun rancangan peraturan tentang layanan digital oleh bank umum yang di dalamnya memuat prinsip inovasi yang bertanggung jawab dalam pemanfaatan teknologi baru, salah satunya teknologi AI.
Terlepas dari upaya-upaya tersebut, Indonesia tetap membutuhkan regulasi yang secara spesifik menyasar teknologi AI agar pemanfaatannya dapat dilakukan secara bertanggung jawab sekaligus menciptakan ekosistem yang baik bagi pengembangan teknologi AI.
Tantangan dalam meregulasi AI di Indonesia
1. Transparansi dan akuntabilitas
Menciptakan regulasi untuk pemanfaatan AI bukanlah hal yang mudah. Terdapat sejumlah tantangan yang menyertainya. Salah satunya adalah isu terkait transparansi dan akuntabilitas yang berakar pada fitur 'black box' dari AI.
Istilah black box pada AI mengacu pada cara kerja internal AI yang tidak mudah diprediksi oleh penggunanya sehingga menyebabkan kurangnya transparansi dalam pemanfaatannya.
Dalam menjawab tantangan tersebut, pemerintah Indonesia perlu mengidentifikasi dan memetakan risiko serta kerentanan dari seluruh siklus hidup AI.
Setelah risiko dan kerentanan tersebut teridentifikasi, pemerintah selanjutnya perlu memitigasi risiko tersebut dan menetapkan kebijakan manajemen risiko di seluruh siklus hidup AI. Kebijakan manajemen risiko ini perlu untuk diperbaharui secara berkala seiring dengan perkembangan dan kemunculan risiko AI yang teridentifikasi.
2. Pendekatan yang tepat
Persoalan selanjutnya yang perlu untuk dijawab adalah model pendekatan yang sebaiknya digunakan oleh Indonesia dalam meregulasi AI. Perlu ada perpaduan antara model pendekatan yang bersifat horizontal, vertikal, dan sektoral.
Pada tataran pusat, perlu ada regulasi yang secara umum mengatur teknologi AI, khususnya mengenai prinsip-prinsip pengembangan dan pemanfaatan, pemetaan risiko, serta kewajiban pelaporan.
Kemudian, pemerintah juga perlu menunjuk kementerian atau lembaga sebagai pemimpin dalam tata kelola pengembangan AI yang bertugas untuk mengawasi serta mengkoordinasikan pengembangan AI di Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan pendekatan yang bersifat horizontal.
Di sisi lain, pendekatan vertikal dapat dilakukan dengan menyasar sistem dan algoritma secara spesifik kemudian menetapkan regulasinya.
Pada tataran yang lebih bersifat khusus seperti sektor keuangan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, masing-masing sektor perlu untuk membuat regulasi yang lebih spesifik yang menyasar pada masing-masing sektor.
Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa setiap sektor memiliki kekhususan masing-masing yang berbeda dengan sektor lainnya sehingga terkadang terdapat prinsip-prinsip tertentu yang perlu untuk ditegakkan oleh sektor yang bersangkutan. Ini yang kemudian dinamakan pendekatan yang bersifat sektoral.
Regulasi tentang teknologi AI di Indonesia adalah suatu hal yang fundamental guna menjamin pemanfaatan AI di Indonesia dilakukan secara bertanggung jawab dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Namun, regulasi tersebut jangan sampai menjadi penghambat bagi terciptanya ekosistem pengembangan AI yang baik di Indonesia. Regulasi yang nantinya hadir haruslah mampu menyeimbangkan antara etika dalam pemanfaatan AI dan inovasi teknologi yang hendak dicapai.
M. Irfan Dwi Putra, Junior Researcher at Center for Digital Society (CfDS), Universitas Gadjah Mada
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.