NEW YORK - Reformasi tata kelola global sangat mendesak dilakukan agar mampu menjawab tantangan kemajuan zaman.
Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, dalam pidatonya di hadapan forum Summit of The Future pada sidang ke-79 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS), Senin (23/9), menyampaikan kalau kondisi rivalitas geopolitik dunia saat ini dibarengi dengan suramnya pemulihan ekonomi serta krisis iklim dan energi yang membuat masyarakat global harus bersama dalam kolaborasi.
"Sayangnya, kita melihat kebalikannya. Kepercayaan dalam multilateralisme terus memudar dan efektivitasnya juga perlu dipertanyakan," kata Retno.
Dunia kini memerlukan tatanan global yang inklusif, adaptif, dan efektif, yang salah satunya bisa dilakukan dengan melakukan reformasi di tubuh Dewan Keamanan PBB serta arsitektur keuangan internasional.
"Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kita harus mendorong reformasi yang sesungguhnya. Reformasi yang mendengarkan suara negara-negara berkembang dan menyasar keluhan mereka," kata Retno.
Selain itu, Retno juga menyampaikan dua hal lain yaitu solusi multilateral untuk masa depan yang lebih baik tersebut. Pertama, menciptakan perdamaian dunia secara nyata, yang dapat ditarik ke konteks saat ini di Palestina. Kedua, menjaga hak setiap bangsa untuk menjalankan pembangunan. Hal ini berarti pula siapa saja, termasuk Dunia Selatan (The Global South), mesti terbebas dari diskriminasi perdagangan dan jebakan utang. Jika tidak, mereka akan tertinggal.
Retno menegaskan bahwa isu-isu krusial tersebut tidak boleh menjadi angin lalu.
Ia menyerukan agar Summit of The Future menjadi momentum mengukir masa depan dunia yang berkelanjutan untuk semua orang.
Atasi Tantangan
Menanggapi desakan reformasi itu, Wakil Rektor Tiga, Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, mengatakan tata kelola global memang harus menyesuaikan dengan dinamika dunia agar dapat mengatasi berbagai tantangan yang muncul.
"Pidato Menlu tersebut memang layak diserukan. Karena kita tahu sendiri, semakin ke sini, dunia menghadapi ancaman krisis multidimensi yang semakin nyata," kata Surokim.
Bentuk-bentuk relasi global akhirnya harus ikut menyesuaikan karena jika tetap bertahan akan tertabrak oleh krisis yang datang silih berganti. "Untuk memperkuat relasi, masing-masing negara harus lebih menekan egonya, lebih mengedepankan kesamaan dari pada perbedaan," ujarnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan institusi seperti PBB, World Trade Organization (WTO) perlu mereformasi tata kelolanya dengan memberikan kesempatan dan peran dan representasi yang lebih besar kepada negara-negara emerging market developing economy.
Fabby mengatakan tantangan global seperti perubahan iklim, menurunnya keanekaragaman hayati, dan penurunan ekonomi global serta penanggulangan kemiskinan memerlukan kerja sama multilateral yang melibatkan semua negara maju dan miskin.