Oleh Djoko Subinarto

Tidak terasa, usia Orde Reformasi telah genap 20 tahun. Meskipun demikian, masih banyak yang harus dilakukan demi meningkatkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Kejatuhan rezim Orde Baru yang ditandai kelengseren Presiden Soeharto ketika itu, diyakini banyak kalangan sebagai momen puncak gerakan reformasi.

Inti reformasi adalah perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan ke arah yang lebih baik itu merujuk paling tidak pada perubahan-perubahan dalam tata ekonomi, hukum, politik, dan sosial. Sekilas menengok alur sejarah, jalan menuju reformasi diawali dengan krisis moneter yang melanda Indonesia dan negara-negara lain Asia Tenggara sejak Juli 1997.

Buntutnya, fundamen ekonomi Indonesia tak kuat menahan krisis tersebut yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Nilai tukar rupiah yang semula 2.500 per dollar AS bergerak liar hingga menyentuh 16.000 per dollar AS. Iklim bisnis melesu dan pertumbuhan ekonomi Indonesia pun jalan di tempat.

Di saat yang sama, muncul pula krisis politik dan kepercayaan terhadap pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang dinilai sangat korup dan otoriter. Maka, dipelopori antara lain oleh mahasiswa, aktivis, dan kelompok-kelompok prodemokrasi, gelombang reformasi mulai menggelinding seperti bola salju. Unjuk rasa digelar di berbagai daerah menggelorakan ketidakpecayaan rakyat terhadap pemerintah, DPR, dan MPR.

Puncaknya, para mahasiswa, aktivis dan kelompok-kelompok prodemokrasi menduduki gedung MPR/DPR. Mereka secara kompak menyerukan tuntutan (1) turunkan harga sembilan bahan pokok (sembako); (2) hapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme; (3) turunkan Soeharto.

Dengan era reformasi, banyak pihak merasa optimistis tinggi bahwa nasib negeri bakal segera bergerak ke sisi yang lebih cerah dan lebih menjanjikan. Harapan optimisme itu bukan tanpa dasar. Bagaimanapun, setelah reformasi bergulir, kehidupan demokrasi memang lebih berkembang.

Di antaranya, diamendemennya konstitusi, diselenggarakannya pemilihan langsung, baik anggota legislatif, presiden, maupun kepala daerah. Kemudian, semakin besarnya otonomi daerah. Itulah sejumlah hasil signifikan reformasi.

Tumpukan Persoalan

Setelah 20 tahun reformasi, masih banyak tumpukan persoalan yang harus segera diselesaikan agar kehidupan berbangsa dan bernegara semakin baik. Salah satunya, persoalan korupsi yang hingga kini masih melilit-lilit. Jujur saja, virus korupsi telah merajalela menyusup ke berbagai sendi kehidupan dan benar-benar menjadi budaya yang tidak terpisahkan dari bangsa dalam level apa pun. Selain menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga merongrong fondasi tata kelola pemerintahan yang baik.

Tata kelola pemerintahan yang baik ditandai layanan publik yang andal dan tepercaya. Praktik korupsi meniadakan keduanya. Karenanya, dalam konteks penyelenggaraan kehidupan bernegara, jangan heran pula kalau sebagian kalangan kini lebih suka memelesetkan konsep trias politika menjadi trias koruptika. Ini lantaran kinerja buruk ketiga cabang kekuasaan: legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Persoalan lainnya, menyangkut penegakan hukum yang semestinya hanya memihak kepada kebenaran, justru kini lebih sering memihak penguasa. Akibatnya, penegakan hukum masih amburadul. Hukum menjadi loyo setiap berhadapan dengan power. Hukum akhirnya cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Maka, sebagian masyarakat lantas kehilangan kepercayaan pada aparatur penegak hukum.

Di bidang ekonomi, meskipun pertumbuhan terbilang stabil setidaknya selama 10 tahun terakhir, realitanya kesenjangan kian menganga. Berbagai kajian memperlihatkan, jurang perbedaan kaya dan miskin sangat mencolok. Jika terus dibiarkan, bisa memicu disrupsi sosial yang merepotkan.

Belum lagi masalah intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Di sisi lain, di depan saat ini terbentang tantangan global yang tidak kecil. Perubahan iklim, kedaulatan energi, ancaman krisis pangan, ledakan penduduk, kelangkaan air, serta epidemis penyakit menular merupakan tantangan-tantangan global yang perlu mendapat perhatian serius.

Sudah barang tentu, perjalanan nasib bangsa bakal semakin berat dan tertatih-tatih saat harus menghadapi berbagai tantangan. Pada saat yang sama persoalan korupsi, penegakan hukum, kesenjangan ekonomi, intoleransi, radikalisme, serta terorisme belum mampu dibereskan.

Reformasi sejatinya berubah menjadi lebih baik. Siapa pun pemimpin mesti menyadari dan berupaya sekuat tenaga merealisasikan cita-cita reformasi. Media, aktivis, dan kelompok-kelompok masyarakat sipil bahu-membahu mengawal reformasi. Jangan bosan-bosannya mendorong para pemimpin, dalam level apa pun, untuk tetap setia pada cita-cita reformasi.

Akhirnya, diharapkan semoga para pemimpin tetap menempatkan publik di atas kepentingan-kepentingan lainnya, sehingga api optimisme rakyat akan hari esok yang lebih cerah tetap menyala.


Penulis Alumnus Universitas Padjadjaran

Baca Juga: