Oleh Fery Chofa

"If men were angels, no government would be necessary. If angels were to govern men, neither external nor internal controls on government would be necessary. In framing a government which is to be administered by men over men, the great difficulty lies in this: you must first enable the government to control the governed; and in the next place oblige it to control itself."--Alexander Hamilton on Human Nature and Government.

Manusia tidak akan membutuhkan pemerintah jika saja semua adalah malaikat. Tidak perlu kontrol terhadap penyelenggara negara, jika saja malaikat memerintah manusia. Persoalan besarnya, dalam penyelenggaraan negara oleh manusia tersebut, pemerintah mengontrol yang diperintah dan mewajibkan yang memerintah untuk mengendalikan diri sendiri.

Buah pikir salah satu bapak bangsa Amerika Serikat tadi rasionalitas filosofis perlunya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (cheks and balances) antarlembaga negara. Mereka diberi kewenangan menjalankan tugas dan fungsi tertentu dalam penyelenggaraan negara. Tema check and balances inilah yang pertama kali dikenalkan tahun 1787 oleh John Adams dalam kata pengantar Defense of the Constitutions of the United States.

Kesempurnaan manusia sekaligus menimbulkan potensi ketidaksempurnaan perilaku mereka yang didorong hawa nafsu dalam setiap aspek kehidupan, tidak terkecuali kekuasaan. Adagium "Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely" sepertinya berlaku universal dalam beragam dimensi ruang, waktu dan tempat. Tidak terkecuali bagi semua unsur penyelenggara negara republik ini. Tentu hal ini termasuk berbagai lembaga sampiran negara yang tumbuh dua dekade belakangan.

Disadari atau tidak, setelah era Orde Baru dan amendemen UUD 1945 memicu lahirnya berbagai lembaga sampiran negara dalam berbagai varian seperti komisi, komite, dewan, lembaga, dan badan. Berbagai sebutan dan istilah mulai dari independent agencies, auxiliary state organs, independent regulatory bodies, hingga independent adminsitrative agencies disematkan para ahli hukum, politik, dan administrasi negara pada lembaga tersebut.

Publik tidak percaya disertai disfungsi dan malfungsi lembaga-lembaga konvensional negara dalam konsep trias politika baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Mereka menjalankan fungsi dan kewenangan secara otoriter, tirani, koruptif, kolutif, dan intervensionis. Semua itu raison d'etre kemunculan lembaga-lembaga sampiran tadi.

Dengan kata lain, mekanisme checks and balances yang tidak berfungsi baik antara lembaga legislatif, eksekutif, dan judikatif turut mendorong kebutuhan pembentukan lembaga-lembaga negara baru. Pemilu yang curang dan penuh tekanan munculkan KPU. Korupsi yang membudaya melahirkan KPK. Pelanggaran hak asasi manusia yang menindas kaum marginal mencetuskan Komnas HAM.

Pelayanan publik yang diskriminatif lahirlah Ombudsman. Kemudian, rentannya anak-anak terhadap perlakuan yang merendahkan mendatangkan KPAI. Riskannya tindak pidana pencucian uang hingga monopoli usaha yang tidak terkendalikan menyebabkan perlunya dibentuk PPATK dan KPPU.

Ide pembaruan kelembagaan diterima yang dibungkus dengan semangat idealisme dan heroisme tinggi guna mendorong demokratisasi, modernisasi, efisiensi, dan efektifitas pelayanan publik. Kemudian juga penyelenggaraan pemerintahan perlu pembentukan lembaga-lembaga baru. Hanya pertumbuhan mereka tanpa didasari desain matang dan komprehensif karena sifatnya sangat reaktif, sektoral, dan dadakan (Jimly Asshiddiqie;2010).

Sebagian lembaga tersebut ada yang melaksanakan fungsi regulator, supervisi, administrasi, dan adjudikasi. Bahkan ada yang secara luar biasa diberi kewenangan menjalankan dua, tiga, dan bahkan seluruh fungsi tersebut! Tidaklah mengherankan jika kini muncul kompleksitas persoalan dalam mekanisme akuntabilitas dan pola hubungan dengan kelembagaan legislatif, eksekutif, dan judikatif selaku institusi utama trias politika.

Getolnya DPR merecoki independensi KPU dengan upaya menyusupkan kader partai politik sebagai komisioner, perbedaan pendapat yang tajam dalam diskursus kebolehan DPR melaksanakan hak angket terhadap KPK merupakan secuil dari permasalahan pola hubungan tadi. Belum lagi, makin besarnya disparitas tingkat kepercayaan publik antara lembaga sampiran dan konvensional.

Redesain

Saatnya sekarang untuk menata kembali posisi, fungsi, kewenangan, akuntabilitas serta pola hubungan institusional dalam kerangka desain ketatanegaraan. Ini menjadi tugas utama DPR dan pemerintah dengan melibatkan seluruh stakeholders. Ada beberapa langkah yang perlu menjadi perhatian dan pertimbangan redesain.

Harus dilakukan pemilahan secara selektif berdasarkan prioritas manfaat dan kebutuhan berbangsa bernegara serta tingkat kepentingan konstitusional lembaga sampiran. Jadi harus dibedakan antara lembaga yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, undang-undang, dan keputusan presiden. Kemudian, kontribusi dan manfaat yang telah diberikan. Tidak semua institusi harus ditata kembali.

Perlu reposisi institusi, fungsi, dan kewenangan yang jelas dari lembaga sampiran agar tidak tumpang tindih dengan sesamanya maupun lembaga lain. Kewenangan harus diberikan batasan pelaksanaannya. Jangan bertentangan dan melanggar hak-hak fundamental warga yang dijamin konstitusi. Ada beberapa lembaga yang memiliki fungsi jamak mulai dari mengatur, melaksanakan, mengawasi, hingga mengadili. Menyerahkan banyak kewenangan urusan publik pada satu lembaga berpotensi menimbulkan kesewenangan.

Harus ditegaskan pola hubungan lembaga sampiran dengan kelembagaan konvensional baik DPR, pemerintah, peradilan, BPK, maupun publik. Dengan demikian, tergambar jelas mekanisme akuntabilitas maupun checks and balances dengan tetap menjamin independensi lembaga tersebut dalam menjalankan tugas dan wewenang.

Penulis Pengajar Hukum Administrasi Negara, Alumnus Universiteit Maastricht

Baca Juga: