Oleh: Romli Atmasasm
Masalah hukum sesungguhnya sejak lama adalah kesenjangan yang besar antara idealisme hukum yang merupakan ciri khas teori dalam pendidikan hukum (das sollen) dan kenyataan yang terjadi dalam penegakan hukum yang berkembang dalam keseharian kita (das sein).
Kesenjangan antara keduanya selalu berjarak dan jauh-dekatnya jarak tergantung dari pemahaman antara teoritisi hukum, aparatur hukum, dan juga masyarakat tentang ketercelaan sesuatu perbuatan. Namun, ukuran yang pasti dalam mengukur jauh-dekatnya jarak kesenjangan sampai saat ini belum terdapat satu parameter yang jelas dan pasti. Hal ini dimungkinkan karena hukum lahir dan tumbuh serta berkembang bersama kehidupan masyarakatnya sebagaimana dikatakan Von Savigny, das recht nicht gemacht, est is mit dem volke.
Namun di dalam praktik penegakan hukum, kita saksikan hukum selalu berkelindan dengan kekuasaan. Dalam arti, bahwa di satu sisi hukum dilahirkan dan diperlukan untuk tujuan kehidupan masyarakat yang tertib, teratur, dan berkepastian bahkan dicitakan berkeadilan, tetapi sering pula terjadi hukum digunakan bahkan dijadikan alat kekuasaan (as a tool of the powerfull) untuk menindas kelompok lemah dalam sosial ekonominya.
Tampaknya telah menjadi hukum alam bahwa hukum dan kekuasaan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Hukum tanpa kekuasaan hanya angan-angan, tetapi kekuasaan tanpa hukum adalah anarki. Sehingga akankah selamanya adagium tersebut menjadi keabadian dalam hidup masyarakat tanpa batas waktu dan tempat serta bangsa. Tidak akan ada jawaban yang memastikan keadaan tersebut akan berakhir.
Dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam kejahatan biasa dan kejahatan serius seperti korupsi, terorisme, dan pencucian uang, kita saksikan fungsi hukum lebih besar sebagai alat kekuasaan mencapai tujuannya daripada sebagai sarana mencapai ketertiban, kepastian, dan keadilan bagi pencari keadilan.
Contoh perkara pencemaran nama baik berkaitan penerapan UU ITE; perkara sengketa keperdataan seperti perjanjian /transaksi jual beli atau pengalihan saham menjadi perkara pidana, penggelapan atau penipuan; perkara penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara menjadi perkara pemerasan dalam jabatan bukan perkara sengketa tata usaha negara; perkara pidana dalam upaya perlawanan hukum biasa "dipaksa" menjadi perlawanan hukum luar biasa/ peninjauan kembali.
Sandra Lawan Politik
Selain penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan juga terjadi penggunaan hukum (pidana) sebagai sandera lawan-lawan politik dengan cara kriminalisasi sehingga lawan politik tidak berkutik dan terpaksa mengalah atau mundur dari jabatan politiknya demi perlindungan dan keamanan diri dan keluarganya.
Selain di jajaran kekuasaan kehakiman lembaga Mahkamah Agung, telah terjadi baru-baru ini di Mahkamah Konstitusi, betapa mencolok mata dan terang-terangan, upaya kekuasaan mempengaruhi proses perkara di MK dalam pengujian batas usia calon presiden/ wakil presiden selanjutnya perkara batas usia calon kepala daerah di MA; akan tetapi mengalami kegagalan hanya karena demo besarbesaran penolakan cara-cara politik yang dibalut hukum dan tercela.
Uraian mengenai realita hukum yang terjadi di Tanah Air terutama dalam ranah hukum dan penegakan hukum berdampak terhadap perkembangan sistem ekonomi, politik, dan keuangan negeri ini.
Dampak yang dirasakan dan tampak nyata adalah pendekatan hukum yang legalistik berlandaskan paham hukum adalah undangundang (tertulis) dengan tujuan kepastian saja, tetapi mengabaikan tujuan kemanfaatan dan keadilan telah terbukti mengakibatkan sistem perekonomian khususnya prakiraan pertumbuhan ekonomi nasional dan target-target APBN/ APBD yang telah disahkan di lembaga legislatif, terpaksa berhenti di tengah perjalanan hanya karena terlibat korupsi dan suap; APBN/APBD yang telah ditetapkan dan disahkan tidak dapat diserap secara utuh sekalipun nilai kerugian karena korupsi jauh di bawah nilai proyek yang telah dianggarkan; sehingga menjadi pertanyaan, siapa yang merugikan keuangan negara? koruptorkah atau lembaga penegak hukumkah? Dalam bahasa sehari-hari ternyata terjadi, lebih besar pasak dari tiang atau dari aspek ekonomi mikro disebabkan dalam penegakan hukum diabaikan prinsip ekonomi mikro, keseimbangan (equilibrium), efisiensi (efficiency), dan kemanfaatan (utility).
Ketimpangan kedua pendekatan, hukum dan ekonomi, telah terbukti merupakan masalah krusial dalam sistem pemerintahan negara hukum yang mengabaikan cita keadilan sosial sebagai amanat Alinea Keempat Mukadimah UUD 1945.
Berkaca pada pengalaman empiris penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi diperlukan evaluasi sistem pemberantasan korupsi yang ramah sistem perekonomian nasional dengan cara perubahan visi, misi, dan tujuan pembentukan UU Tipikor 1999/2001 dan UU TPPU 2010 serta penegakan UU KKN 1999 diperkuat dengan sistem pencegahan korupsi yang dapat membangun sistem penyelenggaraan negara bebas KKN sebagai primum remedium, sedangkan penindakan/ penghukuman merupakan ultimum remedium, sarana terakhir jika sarana pencegahan tidak berhasil efisien dan efektif.