Implementasi teknologi jaringan generasi kelima akan memberikan banyak manfaat bagi industri dan ekonomi. Pemerintah harus segera mempercepat persiapan infrastruktur jaringan tersebut karena sudah tertinggal dari persiapan negara lain.

Riset 5G Adoption Index oleh GSMA menyebutkan, Indonesia masih tertinggal dibanding negara tetangga dalam kesiapan implementasi 5G. Dengan skor 37,2 negeri ini berada di nomor 11 dari 12 negara ASEAN, hanya di atas Filipina. Di atas Indonesia, terdapat Vietnam (39,9), Thailand (40,9), Malaysia (50,3), dan Singapura (80,7).

Padahal teknologi 5G yang secara terori memiliki kecepatan 10 gigabite per detik (Gbps) dan jeda komunikasi atau latensi hanya 1 mili detik (ms) bakal mampu memberi banyak manfaat bagi konsumen dan industri.

Latensi rendah dapat menghasilkan teknologi impian, misalnya, mobil otonom dan bedah pasien dari jarak jauh. Dari sisi industri, lantensi rendah memungkinan revolusi dengan sistem kendali dari jarak jauh.

"Jaringan 5G dengan latensi sangat rendah tadi, bisa mengubah wajah perindustrian menjadi modern, sehingga bisa menghasilkan produk-produk dengan cost yang lebih efisien," jelas Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika,Ismail.

Terminologi 5G adalah istilah untuk teknologi jaringan seluler generasi kelima. Maka sebelumnya, ada 1G-4G. Tiap generasi jaringannya lebih cepat. Maka, 5G akan memungkinkan kita mengunduh dan mengunggah data lebih cepat dari teknologi yang lebih tua atau sebelumnya. Akselerasi 5G dikatakan sangat cepat, dapat mengunduh berkecepatan 10 Gbps dengan latensi 1 milidetik seperti tadi. Itu teorinya. Bandingkan kecepatan 4G rata-rata saat ini sekitar 15 Mbps dan 50 milidetik.

Empat Prioritas

Pemerintah mencanangkan empat prioritas kerja yaitu transformasi digital, mewujudkan Roadmap Making Indonesia 4.0, pengembangan layanan TIK berkualitas di 9 destinasi wisata super prioritas, dan mempersiapkan ibu kota negara baru.

Untuk mewujudkan 4 prioritas tersebut, ada beberapa layer yang harus disiapkan. Di antaranya, berupa kebijakan strategis, infrastruktur5G,termasuk persiapan ketersediaan jaringan dan infrastruktur pasif.

Agar pelaksanaan 4 prioritas dapat barjalan mulus pemerintah sedang menyiapkan kebijakan implementasinya dari model bisnis, regulasi, infrastruktur pasif, dan uji coba. Ismail mengeklaim pemerintah sedang bergerak secara paralel melalui program satuan tugas (task force).

Saat ini, pemerintah memasukkan spektrum 5G dalam dokumen "Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2024" yang sudah pada tahap legislasi Omnibus Law. "Kami juga mengharmonisasi kebijakan infrastruktur pasif, bisnis model, dan menyiapkan spectrum. Kita siapkan juga proses refarming frekuensi dan proses spectrum sharing," ujar Kepala 5G Task Force Indonesia, Denny Setiawan.

Group Chief Corporate Officer Axiata Group, Asri Hassan Sabri, menambahkan, Indonesia bisa belajar dari Malaysia dan Thailand yang telah mempersiapkan jaringan 5G lebih dulu. Keduannya melakukan beberapa reformasi kebijakan guna memastikan struktur pasar yang berkelanjutan pada ekosistem5G.Untuk itu, Indonesia harus mengakselerasi persiapan realisasi 5G.

"Untuk mendukung efisiensi biaya dan implementasi jaringan yang cepat, bisa dilakukan spektrum sharing agar dapat meningkatkan ketahanan infrastruktur digital Indonesia," katanya.

Berdasarakan best practices di sejumlah negara, skema-skema dapat ditiru. Contoh, pemotongan ongkos penggunaan spektrum (spectrum fee deduction) seperti dilakukan Tiongkok, Arab Saudi, dan Korea Selatan.

Tekait pita frekuensi, pemerintah, kata Ismail, telah menyiapkan frekuensi di lebar pita berbeda. Frekuensi Super Data Layer (high band) berada di spektrum 26 dan 28 GHz. Capacity Layer (middle band) di frekuensi 2.3, 2.6, 3,3, dan 3.5 GHz, dan coverage layer (low band) di 700 MHz.

Masalahnya, menurut Denny, frekuensi tersebut saat ini sedang dipakai untuk keperluan lain. Pita frekuensi 700 MHz, misalnya, masih digunakan jaringan televisi analog, 2,6 GHz oleh satelit BSS yang lisensinya sampai tahun 2024.Sedang, 3,5 GHz, ada 56 transponder dan 7 satelit yang beroperasi.

Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah, menuturkan, implementasi 5G tidak mudah karena investasi awal yang besar ditambah persoalan spektrum yang terbatas.

Ia mengusulkan solusi berbagi spektrum atau spektrum sharing. Ini perlu dipertimbangkan dalam aturan."Apakah nanti ada sharing atau bagaimana? Ini isu-isu yang sama-sama perlu kita formulasikan bersama. Lalu, perlu dibahas regulasinya," kata Ririek. hay/G-1

Baca Juga: