Semua sumber penerimaan harus dioptimalkan sehingga tidak hanya bergantung pada ekspor komoditas yang lagi "booming" (melonjak).

JAKARTA - Pemerintah harus mengelola belanja dengan baik agar defisit keuangan bisa ditekan. Penerimaan negara juga harus digenjot agar kemampuan membayar utang tetap stabil.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan defisit APBN 2021 sekitar 3,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Pemerintah tentu akan melakukan upaya menekan angka defisit tersebut di bawah 3 persen.

Upaya ini ditopang pendekatan pengelolaan utang pemerintah, yaitu pruden, oportunis, dan fleksibel dan burden sharing dengan Bank Indonesia (BI). Karena itu, tahun depan diperkirakan pembiayaan utang dan bunga utang cenderung turun. Jika melihat perkembangan kemampuan pembayaran bunga utang pemerintah pada 2021 sebesar 343,5 triliun rupiah atau lebih tinggi dibanding pada 2020 yaitu 314,1 triliun rupiah atau naik 29,4 triliun rupiah.

Menurut dia, pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) akan menjadi senjata pemerintah mengoptimalkan pendapatan negara. UU tersebut diyakini akan berdampak terhadap pembiayaan pemerintah.

"Yang terpenting, pemerintah harus mengelola belanja dengan baik agar defisit keuangan bisa ditekan," tegasnya

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, memproyeksikan pembayaran bunga utang pada 2022 sebesar 400-450 triliun rupiah. Dengan asumsi, defisit anggaran bisa ditekan hingga 4,3-4,8 persen.

Menurut dia, proyeksi bunga utang di 2022 ini akan bergantung dari beberapa variabel, seperti penerimaan negara dan belanja negara. Namun, penerimaan negara selama ini sangat bergantung pada perkembangan harga komoditas yang booming.

"Akan tetapi dengan pelarangan seperti ekspor batu bara pasti akan berpengaruh pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan Pajak Penghasilan (PPh) ekspor, ini yang harus diwaspadai," ujar Bhima.

Modal Positif

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan realisasi sementara defisit APBN 2021 mencapai 4,65 persen dari PDB atau sebesar 783,7 triliun rupiah. Capaian ini turun dari tahun sebelumnya sebesar 6,14 persen dari PDB.

"Poin kita adalah defisit sekarang sudah di bawah 5 persen, di 4,65 persen dari PDB. Jauh lebih kecil dari yang di APBN. Kalau dibandingkan defisit tahun lalu yang 6,14 persen dari PDB, ini konsolidasi fiskalnya sudah luar biasa sangat dalam, sudah cukup solid. Ini menggambarkan bahwa kita cukup bisa menjaga," ujar Menkeu.

Realisasi defisit tersebut lebih kecil 222,7 triliun rupiah dari target APBN 2021 sebesar 5,7 persen dari PDB atau 1.006,4 triliun rupiah. Menkeu mengungkapkan realisasi ini juga jauh lebih dari estimasi yang disampaikan pada bulan November lalu yang diperkirakan mencapai 5,1 persen hingga 5,4 persen.

"Jadi pada Desember (2021), operasi APBN luar biasa sangat besar. Penerimaan negara kita melonjak sangat tinggi dan ini luar biasa," kata Menkeu.

Dengan kondisi defisit yang turun tersebut, Menkeu menuturkan pemerintah tidak lagi menerbitkan surat utang negara domestik sejak November lalu karena realisasi pembiayaan jauh lebih kecil dari target yang sebesar 1.006,4 triliun rupiah, yakni 868,6 triliun rupiah. Pembiayaan anggaran yang lebih efisien pada 2021 dapat menjadi modal positif untuk transisi menuju konsolidasi fiskal pada 2023.

Baca Juga: