Di perbukitan kapur di sebelah timur Bandara Adisucipto, kini masih bisa dijumpai sisa kemegahan Keraton Ratu Boko. Situs ini mengajak pengunjung mendalami tentang keunikan pembangunan di istana atas pegunungan yang penuh tantangan.
Yogyakarta kurang lebih memiliki 10 candi baik dari peninggalan agama Hindu maupun agama Budha. Salah satu diantaranya adalah Candi Ratu Boko atau Candi Ratu Baka, yang berada di Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Penyebutan "Candi Ratu Boko" sebenarnya kurang tepat. Hal ini karena situs ini merupakan reruntuhan sebuah kerajaan. Oleh karenanya Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutnya dengan Situs Ratu Boko.
Legenda yang berkembang menyebutkan Ratu Boko atau Ratu Baka merupakan ayah dari Lara Jonggrang. Nama "karatuan" yang kemudian menjadi "ratu" artinya istana raja. Jadi Ratu Boko artinya karatuan atau tempat istana raja Boko atau Baka.
Ratu di sini bukan mengacu pada "ratu" atau raja perempuan. Karena Ratu Boko sendiri disebutkan merupakan seorang pria. Ia bahkan seorang raja yang keras dan ditakuti rakyatnya. Ketika sedang memperluas wilayah kekuasaan, ia menyentuh Kerajaan Pengging. Hal ini memicu perseteruan dengan penguasa Kerajaan Pengging yaitu Prabu Damar Moyo dan putranya Bandung Bondowoso.
Bala tentara Ratu Boko yang kuat berhasil dikalahkan. Ratu Boko, pemilik istana yang megah dan luas di puncak bukit pada ketinggian 195 meter di atas permukaan laut itu, kemudian dibunuh oleh Bandung Bondowoso.
Melihat paras cantik Roro Jonggrang, putri Ratu Boko, Bandung Bondowoso terpikat hatinya. Jelas saja sang putri menolak lamaran. Ia menyatakan tidak sudi jika harus dipersunting oleh pangeran yang telah membunuh ayahnya.
Bekas legenda tentang istana Ratu Boko, seorang raja yang kuat dengan putrinya yang cantik jelita, dapat dilihat di Situs Ratu Boko. Peninggalan masa Jawa klasik ini memiliki luas 25 hektare dengan beragam peninggalan gapura, batur, talud, kolam, dan gua.
Berbeda dengan peninggalan purbakala lain dari zaman Jawa Kuno yang umumnya berbentuk bangunan keagamaan, Situs Ratu Boko merupakan kompleks profan atau bukan tempat suci. Tempat ini dilengkapi dengan gerbang, pendopo, tempat tinggal, kolam pemandian, hingga pagar pelindung.
Tata Kelola Air
Laman Perpusnas menyebutkan Situs Ratu Boko sebagai istana didirikan di perbukitan tidak seperti umumnya keraton di Jawa. Tantangan pendirian keraton di perbukitan adalah akses terhadap sumber air bersih yang relatif sulit.
Namun beruntungnya dengan manajemen pengairan yang baik, tersedia sumber air yang melimpah dengan bukti adanya kolam pemandian. Hal ini menurut para arkeolog menandakan peradaban saat ini sudah sangat maju dalam tata kelola air.
Di samping itu, pembangunan kompleks juga relatif lebih sulit dari sisi pengadaan tenaga kerja dan bahan bangunan. Beruntungnya batu andesit sebagai bahan baku utama tersedia di perbukitan itu sehingga pembuatan candi menjadi lebih mudah.
Tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pembangunan istana tentu saja untuk mendapatkan sebuah istana megah dengan pemandangan di bawah yang elok. Posisi di atas bukit di udara sejuk membuat tiupan angin lebih kencang dan menyejukkan. Dari sisi keamanan kompleks tersebut menjadi lebih sulit untuk diserang lawan.
Keistimewaan lain dari situs ini adalah adanya tempat di sebelah kiri gapura yang sekarang biasa disebut "tempat kremasi". Dilihat dari ukuran dan posisinya, menurut arkeolog dulunya merupakan tempat pembakaran mayat atau kremasi yang dilakukan dengan upacara megah.
Terlepas dari legenda yang beredar di masyarakat, diperkirakan Situs Ratu Baka dibangun pada abad ke-8 oleh Wangsa Syailendra yang beragama Buddha. Namun kemudian situs tersebut diambil alih oleh raja-raja Mataram kuno Hindu. Akibat dari peralihan kepemilikan itu menyebabkan bangunan kraton ini dipengaruhi oleh Hinduisme dan Buddhisme.
Dalam sejarahnya, Situs Ratu Boko ditemukan pertama kali oleh arkeolog Belanda, HJ De Graaf pada abad ke-17. Pada 1790, peneliti Belanda bernama Van Boeckholtz menemukan kembali reruntuhan bangunan kuno itu. Penemuannya dipublikasikan secara luas sehingga menarik minat para ilmuwan lain seperti Mackenzie (1814), Junghun (1884), dan Brumund (1854),terlibat dalam pencatatan di sana.
Ketika memasuki awal abad ke-20, Situs Ratu Boko diteliti kembali oleh FDK Bosch. Hasil penelitiannya dilaporkan dalam tulisan berjudulKeraton Van Ratoe Boko. Dalam penelitian ia menemukan sebuah patung yang menggambarkan seorang pria dan wanita berkepala dewa yang saling berpelukan. Ia juga menemukan sebuah tiang batu bergambar binatang-binatang, seperti gajah, kuda dan lain-lain.
Di Situs Ratu Baka ditemukan sebuah prasasti berangka 792 M yang dinamakan Prasasti Abhayagiriwihara dengan aksara pra-nagari. Isi prasasti tersebut mendasari dugaan bahwa istana Ratu Boko dibangun oleh Rakai Panangkaran.
Prasasti dengan aksara pra-nagari umumnya merupakan salah satu ciri prasasti agama Buddha. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Raja Teja Purnama Panangkaran, yang diperkirakan adalah Rakai Panangkaran, telah memerintahkan pembangunan Abhayagiriwihara.
Rakai Panangkaran disebut juga dalam Prasasti Kalasan (779 M), Prasasti Mantyasih (907 M), dan Prasasti Wanua Tengah III (908 M). Menurut para pakar, kataabhayaberarti damai,giriberarti gunung atau bukit. Dengan demikian, Abhayagiriwihara berarti biara yang dibangun di sebuah bukit yang penuh kedamaian.
"Istana yang awalnya bernama Abhayagiriwihara ini didirikan untuk tempat menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual. Berada di istana ini, Anda bisa merasakan kedamaian sekaligus melihat pemandangan Kota Yogyakarta dan Candi Prambanan dengan latar Gunung Merapi," demikian tulis lamanpariwisata.slemankab.go.id. hay/I-1
Spot "Sunset" Terbaik di Yogyakarta
Situs Ratu Boko berdiri di lahan sangat luas di atas perbukitan yang terhubung dengan perbukitan di Gunung Kidul. Peninggalan keraton atau istana ini terdiri atas beberapa kelompok bangunan, sebagian besar di antaranya saat ini hanya berupa reruntuhan.
Untuk memasuki kawasan ini harus melalui kelompok bangunan Pintu Gerbang yang berada di sebelah barat. Kelompok gerbang ini terletak di tempat yang cukup tinggi, sehingga dari tempat parkir kendaraan, orang harus melalui jalan menanjak sejauh sekitar 100 meter.
Pintu masuk terdiri atas dua gerbang, yaitu gerbang luar dan gerbang dalam. Gerbang dalam, yang ukurannya lebih besar merupakan gerbang utama. Gerbang luar terdiri atas 3 gapura paduraksa (gapura beratap) yang berjajar arah utara-selatan, berhimpitan menghadap ke timur.
Gapura terbesar, yang merupakan gapura utama, terletak di antara dua gapura pengapit. Ketiga gapura tersebut terletak di teras yang tinggi, sehingga untuk sampai ke pelataran teras orang harus menaiki dua tangga batu, masing-masing setinggi sekitar 2,5 meter.
Di kelompok bangunan Gapura yang menghadap barat ini pengunjung biasanya menikmatisunsetterbaik di Yogyakarta. Terutama pada bulan Juli-September ketika musim kemarau menjadi momen paling pas mendapatkan foto.
Kelompok bangunan kedua adalah Candi Batukapur. Posisi bangunan ini 45 meter dari gerbang pertama ke arah timur laut. Bangunan ini berupa pondasi berukuran 5x5 meter persegi yang dibangun dari batu kapur. Diperkirakan bahwa dinding dan atap bangunan aslinya tidak terbuat dari batu, melainkan dari bahan lain yang mudah rusak, seperti kayu dan sirap atau genteng biasa.
Candi Pembakaran merupakan kelompok bangunan selanjutnya. Candi ini berupa dua teras tanah berundak setinggi 3 meter. Letaknya sekitar 37 meter ke arah timur laut dari gerbang utama. Bangunan ini berdenah dasar bujur sangkar dengan luas 26 meter persegi.
Teras kedua lebih sempit dari teras pertama, sehingga membentuk selasar di sekeliling teras kedua. Permukaan teras atas atau teras kedua merupakan pelataran rumput. Dinding kedua teras berundak tersebut diperkuat dengan turap dari susunan batu kali.
Di sisi barat terdapat tangga batu yang dilengkapi dengan titi tangga. Di tengah pelataran teras kedua terdapat semacam sumur berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 4X4 meter persegi yang digunakan sebagai tempat pembakaran mayat. Di sudut tenggara Candi Pembakaran terdapat salah satu sumur tua yang konon merupakan sumber air suci.
Kelompok bangunan Paseban berasal dari kata dalam bahasa Jawa yang berarti tempat untuk menghadap raja (seba = menghadap). Bangunan ini terletak sekitar 45 meter ke arah selatan dari gapura. Paseban merupakan teras yang dibangun dari batu andesit dengan tinggi 1,5 meter, lebar 7 meter, dan panjang 38 meter, membujur arah utara-selatan.
Tangga naik ke lantai paseban terletak di sisi barat. Di berbagai tempat di permukaan lantai ditemukan 20 umpak (pondasi tempat menancapkan tiang bangunan) dan 4 alur yang diperkirakan bekas tempat berdirinya dinding pembatas.
Bangunan pendapa terletak sekitar 20 meter dari paseban, arah selatan dari gapura, terdapat dinding batu setinggi setinggi 3 meter yang memagari sebuah lahan dengan ukuran panjang 40 meter dan lebar 30 meter. Dalam bahasa Jawa, pendapa berarti ruang tamu atau hamparan lantai beratap yang umumnya terletak di bagian depan rumah.
Tangga naik ke pendapa berada di sisi timur laut dan barat laut. Di sisi utara, barat dan selatan pagar tersebut terdapat jalan masuk berupa gapura paduraksa. Di beberapa tempat di bagian luar dinding terdapat saluran pembuangan air yang disebutjaladwara.
Dalam pagar batu tersebut terdapat dua teras yang dibangun menggunakan batu susunan andesit. Sepanjang tepi dinding dan di antara dua teras terdapat gang berlantai batu. Teras pertama disebut pendapa, berbentuk semacam panggung persegi setinggi 1,46 meter, dengan ukuran luas 20 meter persegi.
Di atas permukaan lantai pendapa terdapat 24 buah umpak batu. Teras kedua, yang disebutpringgitanterletak di selatan pendapa.Pringgitanartinya ruang dalam atau ruang duduk.Pringgitanini juga berdenah segi empat dengan luas 20 X 6 meter. Di permukaan lantaipringgitanditemukan 12 umpak batu.
Di luar dinding pendapa, arah tenggara, terdapat sebuah teras batu yang masih utuh. Di ujungnya terdapat 3 buah candi kecil yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Bangunan yang di tengah, yang berukuran lebih besar dibandingkan dengan kedua candi pengapitnya, adalah tempat untuk memuja Dewa Wisnu. Kedua candi yang mengapitnya, masing-masing, merupakan tempat memuja Syiwa dan Brahma.
Sedangkan kelompok bangunankeputrenyang artinya tempat tinggal para putri letaknya di timur pendapa. Lingkungankeputrenseluas 31 X 8 meter dibatasi oleh pagar batu setinggi 2 meter, namun sebagian besar pagar batu tersebut telah runtuh. Pintu masuk, berupa gapura paduraksa dengan hiasan Kalamakara di atas ambangnya, terletak di sisi timur dan barat.
Lingkungankeputrenterbagi dua oleh tembok batu yang memiliki sebuah pintu penghubung. Dalam lingkungan pertama terdapat 3 buah kolam berbentuk persegi. Yang sebuah berbentuk bujur sangkar, berukuran lebih besar dibandingkan kedua kolam lainnya.
Dua kolam yang lebih panjang berbentuk persegi panjang membujur arah utara-selatan. Dalam lingkungan yang bersebelahan dengan tempat ketiga kolam persegi di atas berada, terdapat 8 kolam berbentuk bundar yang berjajar dalam 3 baris.
Kompleks bangunan yang berada di perbukitan kapur ini juga terdapat dua buah gua di lereng bukit. Gua Lanang dan Gua Wadon (gua lelaki dan gua perempuan). Gua Lanang yang terletak di timur laut paseban merupakan lorong persegi dengan tinggi 1,3 meter, lebar 3,7 meter dengan kedalaman 2,9 meter.
Di dalam gua, masing-masing di sisi kiri, kanan dan belakang, terdapat relung seperti bilik. Pada dinding gua terdapat pahatan berbentuk semacam pigura persegi panjang. Mackenzie menemukan patung di depan Gua Lanang ini.
Gua Wadon yang terletak sekitar 20 meter ke arah tenggara dari paseban. Guasini lebih kecil ukurannya dibandingkan dengan Gua Lanang, yaitu tinggi 1,3 meter, lebar 3 meter dan dalam 1, 7 meter. Di bagian belakang gua terdapat relung seperti bilik.
Situs Ratu Boko beberapa kelebihannya mengenakan tiket masuk sebesar 25.000 rupiah untuk dewasa, dan 10.000 rupiah untuk anak anak, berlaku hingga jam 3 sore. Untuk jam selanjutnya pengelola mengenakan tiketSunsetdengan harga 100.000 rupiah. hay/I-1