Dana Moneter Internasional (IMF) kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi, menggambarkan semakin gelapnya prospek ekonomi dunia dan risiko resesi dengan cepat meningkat.

"Kami memperkirakan bahwa negara-negara yang menyumbang sekitar sepertiga dari ekonomi dunia akan mengalami setidaknya dua kuartal berturut-turut kontraksi tahun ini atau tahun depan," kata direktur pelaksana IMF Kristalina Georgieva saat berpidato di Universitas Georgetown, seperti dikutip dari CNN Business.

"Dan, bahkan ketika pertumbuhan positif, itu akan terasa seperti resesi karena pendapatan riil menyusut dan harga naik," tambahnya.

Georgieva mengatakan IMF mengantisipasi bahwa dunia bisa kehilangan 4 triliun dolar AS dalam output ekonomi antara kurun waktu saat ini dan 2026.

IMF terus memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan berangsur-angsur menurun sejak pertumbuhan global sempat mencapai tingkat tahunan 6,1 persen pada Oktober 2021 di tengah pemulihan yang kuat dari pandemi.

Sejak saat itu pertumbuhan ekonomi diproyeksi terus merosot menjadi total 3,2 persen untuk tahun ini dan 2,9 persen pada tahun depan. Georgieva bahkan mengatakan proyeksi itu akan diturunkan lagi ketika IMF merilis laporan World Economic Outlook terbaru minggu depan,

Mengutip CNN Business, semua ekonomi terbesar dunia sedang melambat, seiring krisis energi di Eropa di tengah perang Rusia di Ukraina, runtuhnya real estate Tiongkok, dan inflasi yang secara historis tertinggi di Amerika Serikat.

Georgieva bahkan menggambarkan dunia akan berada dalam periode "kerapuhan bersejarah," melintasi krisis termasuk pandemi, perang selama berbulan-bulan di Ukraina dan gelombang keras peristiwa cuaca ekstrem yang secara bersamaan mendorong lonjakan harga yang dramatis dan menghancurkan.

"Dalam waktu kurang dari tiga tahun, kami hidup melalui kejutan, setelah kejutan, setelah kejutan," kata ekonom Bulgaria.

Atas proyeksi IMF, Georgieva mendesak para pembuat kebijakan berbagai negara untuk tetap berada di jalur dalam memerangi inflasi seraya memperingatkan pengetatan kebijakan moneter yang berlebihan dapat membawa dunia ke dalam periode resesi yang tiada akhir.

"Di sisi lain, pengetatan kebijakan moneter terlalu banyak dan terlalu cepat - dan melakukannya secara sinkron di seluruh negara - dapat mendorong banyak ekonomi ke dalam resesi yang berkepanjangan," tegasnya.

Georgieva juga mendorong pemerintah meramu kebijakan fiskal sementara untuk membantu menopang warga mereka yang paling rentan, dan tentunya tanpa menambah inflasi secara keseluruhan. Dukungan finansial disebutnya juga harus diberikan ke pasar negara berkembang dan negara-negara berpenghasilan rendah yang berisiko mengalami kesulitan utang dan krisis pangan.

"Lebih mungkin menjadi lebih buruk daripada menjadi lebih baik," katanya.

"Ketidakpastian tetap sangat tinggi dalam konteks perang dan pandemi. Mungkin akan ada lebih banyak guncangan ekonomi," lanjutnya.

Baca Juga: