Opini oleh: C.H. Heni Kurniawan, Dosen Prodi Akuntansi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Bagaimana kabar kebjakan penghapusan data kendaraan yang tidak bayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) selama 2 tahun berturutan dan dinyatakan bodong?

Pertanyaan di atas sebenarnya mempertanyakan kebijakan pemerintah yang sejak tahun lalu disampaikan oleh Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Agus Fatoni yang menyampaikan bahwa Pemerintah akan mulai menerapkan pemblokiran Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) pada tahun 2023 jika masyarakat tak melakukan perpanjangan selama 2 tahun berturut-turut untuk SNTK 5 tahunan yang habis masa berlakunya.

Dasar aturan kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasal 74 ayat 2 yang menyebutkan bahwa penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dapat dilakukan jika:

  1. Kendaraan Bermotor rusak berat sehingga tidak dapat dioperasikan; atau
  2. Pemilik Kendaraan Bermotor tidak melakukan registrasi ulang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun setelah habis masa berlaku Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.

Peraturan tersebut diperkuat oleh Pasal 85 Peraturan Polri No. 7 Tahun 2021 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor. Fatoni menjelaskan STNK yang 2 tahun berturut-turut tak diperpanjang maka kendaraan akan menjadi bodong permanen karena data registrasi dan identifikasi pada STNK dihapus.

Sontak munculnya kebijakan tersebut membuat resah masyarakat dan mereka yang menunggak PKB cemas dengan nasib kendaraan mereka. Kecemasan tersebut beralasan karena ada empat hal yang harus ditanggung oleh pemilik motor atau mobil yang malas bayar pajak atau menunggak pajak kendaraan:

  1. Tidak membayar pajak data ranmor dihapus,
  2. BPKB tidak berlaku dan tidak bernilai,
  3. Tidak dapat diregistrasi ulang atau didaftarkan ulang,
  4. Kendaraan tidak memiliki nilai jual.

Melihat konsekuensi yang ditanggung tersebut menyebabkan masyarakat secara sadar kemudian banyak yang melunasi kewajiban PKB-nya.

Namun mendekati pertengahan tahun 2023, pelaksanaan kebijakan yang awal kemunculannya digaungkan secara masif tersebut pelan-pelan hilang kabar dan tidak terwujud pelaksanaaannya. Alih-alih melaksanakan kebijakan yang disampaikan pemerintah pusat, pada kenyataannya sejumlah provinsi batal menjalankan kebijakan tersebut dan lebih memilih kebijakan untuk memperpanjang masa pemutihan tunggakan PKB di daerahnya. Diawali oleh Provinsi Aceh, saat ini ada 8 daerah yang sedang menggelar pemutihan PKB 2023 yaitu: Aceh, Sidoarjo, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Lampung, dan Bengkulu.

Penurunan Pendapatan Daerah

Menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) ditetapkan sebagai pajak daerah tingkat 1 (Provinsi) dengan tarif maksimal 5%. Pembagian hasil penerimaan PKB diatur dalam perda provinsi dengan perimbangan 70% merupakan pembagian untuk provinsi dan 30% diserahkan ke kota/kabupaten. Pembagian hasil penerimaan ini setelah dikurangi biaya pemungutan sebesar 5%. Setiap daerah melalui peraturan Gubernur menetapkan paling sedikit 10% dari penerimaan PKB harus dialokasikan untuk pembangunan jalan, peningkatan moda dan sarana transportasi umum.

PKB merupakan pemasukan terbesar dan menjadi primadona pendapatan daerah. Hal ini tidak dapat dipungkiri dengan semakin padatnya jalanan oleh keberadaan kendaraan bermotor. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) melaporkanpenjualan mobil di pasar domestik dari pabrik ke dealer (wholesales) mencapai 1.048.040 unit sepanjang 2022, melonjak 18,1% dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Angka tersebut belum termasuk unit sepeda motor yang diproduksi dan terjual. Banyaknya kendaraan yang beredar di jalanan merupakan potensi penerimaan pajak daerah yang sangat besar. Pemerintah DKI Jakarta dengan jumlah kendaraan terdaftar 26,37 juta unit mentargetkan penerimaan PKB tahun 2023 sebesar Rp. 9,6 trilyun yang artinya sebesar 22% dari total target pajak daerah sebesar Rp. 43,6 trilyun. Target PKB DKI Jakarta sampai dengan pertengahan Juni 2023 sudah terealisasi sebesar 46,62% (Rp. 4.379.253.456.975).

Angka-angka di atas menunjukkan besarnya potensi pendapatan daerah dari PKB. Dapat dipahami apabila pemerintah daerah seolah tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat. Penghapusan data kendaraan bermotor menghilangkan sebagian potensi pendapatan daerah yang diterima selama ini. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Korlantas Polri, jumlah kendaraan bermotor sampai dengan awal 2022 mencapai 146.046.000 unit. Namun, hanya sekitar 39 persen atau 40 juta kendaraan yang melunasi PKB dan diperkirakan nilai tunggakan pajak secara nasional tahun 2016-2021secara totalmencapai Rp. 100 trilyun. Nilai yang sangat besar jika masih dimungkinkan untuk direalisasikan menjadi pendapatan daerah.

Kendala Pelaksanaan Kebijakan

Selain menurunkan potensi pendapatan daerah, belum terlaksananya kebijakan Kemendagri oleh pemerintah daerah diduga juga karena masalah harus terpenuhinya ketentuan perundang-undangan.

Pasal 85 Peraturan Polri No. 7 Tahun 2021 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor. Sebelum penghapusan dari daftar Regident Ranmor, Unit Pelaksana Regident Ranmor menyampaikan peringatan. Ada tiga kali peringatan yang akan diberikan kepada pemilik kendaraan.

  1. peringatan pertama, tiga bulan sebelum melakukan penghapusan data Regident Ranmor;
  2. peringatan kedua untuk jangka waktu satu bulan sejak peringatan pertama, apabila pemilik Ranmor tidak memberikan jawaban/tanggapan; dan
  3. peringatan ketiga untuk jangka waktu satu bulan sejak peringatan kedua, apabila pemilik Ranmor tidak memberikan jawaban/tanggapan.

Jika pemilik kendaraan tidak juga memberikan jawaban/tanggapan dalam jangka waktu satu bulan sejak peringatan ketiga, maka akan dilakukan penghapusan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor. Peringatan tersebut disampaikan secara manual atau elektronik. Selain itu, penghapusan data kendaraan tidak berlaku jika kendaraan bermotor tersebut diblokir, dalam proses lelang, atau kendaraan itu rusak berat masih dalam perbaikan berdasarkan surat keterangan dari bengkel.

Dengan demikian sebelum sebuah kendaraan dinyatakan bodong tentunya butuh waktu, tenaga dan biaya pemungutan yang apabila menyesuaikan dengan UU PDRD tidak boleh melebihi 5% dari penerimaan pajak. Hal ini merujuk pada asas economic of collection (The Four Maxims) dalam pemungutan pajak. Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah pusat melalui Kemendagri tentang pemblokiran Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) bagi masyarakat yang tidak melakukan perpanjangan selama 2 tahun berturutan untuk SNTK 5 tahunan yang habis masa berlakunya, belum akan dijalankan secara efektif oleh pemerintah daerah sebelum ada alternatif pajak pengganti yang potensial.

Selain itu juga butuh ketegasan dalam pelaksanaan Pasal 85 Peraturan Polri No. 7 Tahun 2021. Tidak perlu lagi ada peringatan berulangkali yang butuh waktu dan biaya. Apabila sudah terbukti menunggak 2 tahun berturut-turut setelah pajak 5 tahunan berakhir, maka Unit Pelaksana Regident Ranmor berhak untuk langsung menghapus data kendaraan bermotor dan dinyatakan bodong.***

Baca Juga: