Di sebelah barat daya di titik tengah pulau berdiri menjulang puncak pegunungan yang menjadi penanda atau landmark penting dari pulau ini.
Salah satu ikon dari Pulau Mules atau Nusa Molas yang berada di Desa Nuca Molas, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai adalah puncaknya pegunungannya. Di sebelah barat daya di titik tengah pulau berdiri menjulang puncak pegunungan yang menjadi penanda atau landmark penting dari pulau ini.
Jika sebuah video atau foto menampilkan satu atau dua puncak yang ada, maka bisa disimpulkan bahwa pulau yang dimaksud adalah Pulau Mules. Kedua puncak dimaksud adalah Poco Kepi atau bisa disebut dengan nama Jack Firman dan Golo Bendera.
Menurut peta Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Poco Kepi sebagai puncak tertingginya memiliki ketinggian mencapai 566 meter dari atas permukaan air laut (mdpl). Dari berbagai sudut, puncak ini tampak seperti tebing curam yang fantastis dan mungkin merupakan titik pandang yang sangat bagus di atas lautan.
Pulau Mules dengan Tebing Poco Kepi yang terjal sejauh ini sulit untuk didaki dan jarang yang mencapai puncaknya ketika berwisata di sini.
Pada 2018, tim Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada (Mapagama) Yogyakarta melakukan eksplorasi di pulau ini. Dalam kesempatan itu, mereka sempat memanjat tebing di kawasan Poco Kepi yang memiliki kemiringan ekstrem. Bagi mereka yang memiliki keahlian memanjat tebing dan ingin mencoba mengeluarkan hormon adrenalin, Poco Kepi bisa dicoba untuk ditaklukkan.
Namun jika terlalu sulit, bisa mendaki Golo Bendera atau Bukit Bendera yang merupakan puncak tertinggi kedua di pulau ini. Tingginya menurut survei Bakosurtanal mencapai 353 mdpl. Tempat ini meski tidak terlalu tinggi namun mudah didaki sehingga menjadi tempat pengibaran bendera pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus.
Di Pulau Mules dulunya menjadi habitat bagi rusa putih. Namun yang sekarang yang ada hanyalah cerita legenda tentang Tagih Bangkok yang hidup di kawasan Pangka Mese artinya padang besar. Hewan-hewan ini telah menjadi bagian sejarah para tetua dan keturunan mereka yang kini tinggal di pulau mini itu.
Jika bertemu dengan Tagih Bakok, entah nyata atau tidak, mereka disarankan untuk pulang. Kalau tetap memaksa berburu dipercaya akan ada hal buruk terjadi padanya dan keluarganya, sebuah kearifan lokal untuk menjaga rusa asli pulau ini dari kepunahan.
Namun saat ini penduduk lokal disebut tidak lagi berburu hewan langka yang mungkin juga telah punah. Selain itu mereka juga tidak lagi menggali pasir untuk mendapatkan telur-telur penyu di bibir pantainya yang panjang selama periode hewan ini bertelur yaitu Desember - April.
Sementara itu, burung ikonik Maleo saat ini disebut masih ada ada jauh di hutan Pulau Mules. Dari tiga hutan yang ada yaitu Wae Keli, Wae Lambo, dan Wae Raga, semuanya menjadi rumah untuk kawanan burung Maleo yang unik itu.
Disebut unik karena burung Maleo yang bertelur itu tidak kemudian mengerami telurnya dengan memilih mengubur telurnya di dalam pasir yang memiliki panas geothermal alami hingga menetas. Cara unik ini dilakukannya karena telur burung Maleo itu sangatlah besar jika dilihat dari bentuk tubuhnya yang terhitung kecil.
Ukuran telur burung maleo mampu memiliki ukuran 5 kali lebih besar dari ukuran telur ayam, bahkan karena saking besarnya telur, burung Maleo harus mengalami pingsan ketika sedang bertelur. Setelah proses ini Maleo kecil harus menunggu kurang lebih 80 hari untuk bisa keluar dari cangkangnya.
Hebatnya tenaganya cukup kuat untuk mengeluarkan diri dari timbunan pasir sedalam setengah meter. Setelah perjuangan berat ini baru Maleo dapat hidup dan bertemu induknya. Namun tidak jarang dalam proses menerobos pasir ini mengalami kematian karena dalam proses bisa memakan waktu selama 48 jam.
Yang lebih unik lagi setelah burung berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55 sentimeter, dan merupakan satu-satunya burung di dalam genus tunggal Macrocephalon. Yang unik dari Maleo adalah, saat baru menetas, anak burung Maleo sudah bisa terbang. hay/I-1