Di hari Selasa (11/7) pagi yang cukup cerah, dua alat berat berwarna hijau telur asin kembali meluluh lantahkan bangunan yang berada di bantaran Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta Selatan. Bangunan rumah semi permanen yang sebelumnya berdiri kokoh kini telah menjadi kenanangan karena sudah rata dengan tanah dan kosong melompong.
Nampak sekerumunan orang menjadi saksi dari runtuhnya bangunan yang selama puluhan tahun itu dijadikan tempat berlindung warga Bukit Duri. Ratusan petugas yang mengenakan seragama berwarna hijau kecokelat-cokelatan juga terlihat mondar-mandir sambil membopong bongkahan batu dan kayu yang kemudian dikumpulkan membentuk seperti gunung.
Memang, penertiban kali ini sangat berbeda dengan pendahulunya. Masih jelas teringat di benak, pembongkaran Bukit Duri pada tahun 2016 lalu sempat diwarnai bentrokan antara petugas dan warga. Bahkan ada beberapa warga yang menempuh jalur hukum terkait surat perintah bongkar yang dinilai cacat hukum karena tidak melalui proses Undang-Undang pengadaan tanah Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012.
Namun pada proses penertiban kali ini, berjalan mulus tanpa hambatan yang berarti. Tak ada satupun perlawanan dari warga yang mencoba untuk menghentikan penataan ini. Bahkan jauh hari sebelum pembongkaran, warga justru secara sukarela membedel rumahnya sendiri.
Wali Kota Jakarta Selatan, Tri Kurniadi yang mengenakan seragam lengkap saat memimpin apel menegaskan eksekusi penertiban bangunan untuk penataan kawasan bantaran Sungai Ciliwung di Bukit Duri akan dituntaskan hari ini. Walaupun batas penyelesaiannya selama empat hari.
"Penertiban ini dalam rangka program Pemerintah Pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane untuk menanggulangi banjir di Jakarta," terang dia.
Tinggal Kenangan
Tapi, meskipun bekas warga Bukit Duri mengaku sudah pasrah dan ikhlas digusur, suasana duka masih saja menyelimuti kawasan yang terkenal dengan banjirnya itu. Diantara 355 bangunan yang telah dihancurkan, salah satunya adalah rumah Asih, 55 tahun.
Asih sengaja datang pagi itu untuk melihat langsung bekas rumahnya dirobohkan. Meski jauh dari kata mewah, bagi Asih tinggal di bantaran Sungai Ciliwung bagaikan istana. Hampir seluruh hidupnya ia habiskan di Bukit Duri.
Dengan tatapan kosong seraya membalikan masa ke waktu lampau, Asih menuturkan di rumah itu ia tumbuh dewasa dan melanjutkan hidup baru bersama pasangan sehidup dan sematinya. Disana juga, Asih membesarkan kedua anak-anaknya yang kini sudah mempunyai keluarga dan memberikan ia cucu.
"Saya sudah tinggal disini dari kecil. Tumbuh besar sampai nikah punya suami dan anak juga disini. Sudah banyak suka duka yang dialami disini," papar Asih dengan suara yang sedikit gemetar dan terbata-bata.
Kini, dalam sekedipan mata, rumah yang dibangun dengan mimpi dan harapannya sudah tak berwujud lagi dan hanya tinggal kenangan. Asih mengaku perjalanan manis dan pahitnya hidup yang ia rasakan selama tinggal di Bukit Duri akan menjadi sejarah hidupnya akan terus tersimpan dalam hatinya.
"Ia kenangannya tetap ada di hati. Sekarang saya bisa mulai hidup baru, buat kenangan baru di rusun Rawa Bebek. Semoga bisa hidup lebih baik," kata Asih.
Ada empat RT yang terkena dampak dari normalisasi Kali Ciliwung ini, yaitu RT 01, 02, 03, dan 04/ RW 12. Total sebanyak 335 bidang yang terkena normalisasi. Dari 355 bidang, sebanyak 331 bidang telah pindah ke rusun, lima bidang berupa tiga musola, 2 MCK, dan 17 bidang tidak mengambil lantaran telah memiliki rumah sendiri atau ada yang masih bertahan karena hanya sebagian dari bangunan mereka yang terkena normalisasi
Bagi warga yang terkena normalisasi, pemerintah memindahkan mereka ke 4 rusun di Jakarta Timur. Sebanyak 215 bidang di Rusun Rawa Bebek, 20 bidang di Rusun Pulo Gebang, 11 bidang di Rusun Komarudin dan 85 bidang di Rusun Bekasi KM 2.annisa ibrahim/P-5