Sebulan pascatragedi Kanjuruhan, Ketua Umum PSSI dan pengurusnya tak satu pun mundur sebagai bentuk tanggung jawab. Bahkan, 12 rekomendasi TGIPF tak satu pun dijalankan.

JAKARTA - Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) mengatakan segera melaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB). Sesuai rekomendasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan, KLB adalah salah satu poin yang harus segera dilaksanakan. Namun diingatkan, masyarakat pencinta sepak bola berhati-hati karena PSSI sering mengangkangi pemerintah dengan bersembunyi di balik statuta.

Langkah PSSI mempercepat KLB menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan. Jangan-jangan hal tersebut hanya untuk mempercepat kompetisi bergulir kembali dan mempertahankan pengurus saat ini tetap menjabat. Koordinator Save Our Soccer sekaligus anggota TGIPF, Akmal Marhali, mencurigai keputusan pengurus PSSI mempercepat KLB hanya sebagai alat tawar-menawar ke pemerintah agar mengeluarkan izin menggelar kompetisi.

Kalau merujuk pada rekomendasi TGIPF, KLB dilaksanakan setelah seluruh pengurusnya mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas jatuhnya korban tragedi Kanjuruhan. "Kalau sesuai dengan rekomendasi TGIPF, kenapa ada KLB? Karena poinnya pengurus PSSI mengundurkan diri dulu. Ketika mundur terjadi kekosongan kekuasaan. Itu sebabnya perlu digelar KLB. Ini pengurus tidak ada yang mundur," ujar Akmal.

Dia mengingatkan, publik sepak bola Indonesia harus berhati-hati dengan langkah PSSI sebelum ada kepastian soal agenda utama KLB. "Sejauh ini, pemerintah selalu bisa dikangkangi PSSI dengan berlindung di bawah statuta FIFA," sambungnya.

Sebulan pascatragedi Kanjuruhan dan di tengah besarnya desakan publik agar Ketua Umum PSSI dan pengurusnya mundur, tak satu pun yang memiliki inisiatif untuk melepaskan jabatan sebagai bentuk tanggung jawab. Bahkan, dari 12 rekomendasi yang dipaparkan TGIPF, belum ada satu pun yang dijalankan.

"KLB ini permainan politik saja. Sebab, dari awal mereka menolak rekomendasi. Karena berdasarkan pengalaman, negara selalu dikangkangi PSSI dengan tameng FIFA," jelas Akmal. "Jadi, harus waspada, apakah KLB ini niat tulus untuk dijalankan, atau KLB jadi alat barter seolah-olah digelar KLB, selesai sudah masalah Kanjuruhan," sambungnya.

"Jika pengurus PSSI serius mau mentransformasi sepak bola Indonesia, mereka harus memastikan tidak ada pengurus lama yang mencalonkan diri dalam KLB," tandasnya. Hal senada disampaikan pengamat sepak bola, Mohamad Kusnaeni. Dia menilai publik harus memilih sikap berhati-hati atas niat PSSI mempercepat kongres sebelum mengetahui agenda utama KLB.

Di tengah rendahnya kepercayaan publik kepada federasi yang dianggap tidak becus mengurus sepak bola Tanah Air, hasil kongres tidak akan membawa perubahan apa pun jika agenda utamanya bukan soal perubahan kepengurusan. Perubahan tersebut memastikan pengurus PSSI yang saat ini menjabat tidak akan terpilih lagi dalam kongres mendatang.

"Yang jelas, masyarakat butuh perubahan, butuh sesuatu yang responsif. Salah satunya, menurut saya, diperlukan perubahan kepemimpinan," ujar Kusnaeni. "Kita sering melihat KLB dilakukan berulang kali, tapi hasilnya tidak maksimal. Sehingga ada atau tidak ada KLB, perubahan nggak terasa. Ujung-ujungnya 4L (lu lagi-lu lagi) pengurusnya," sambungnya.

Kusnaeni sangat berharap kepada pemilik suara (voters) yang terdiri dari klub, Asosiasi Provinsi PSSI, Asosiasi Klub Sepak Bola Wanita, Federasi Futsal Indonesia, Asosiasi Wasit, Asosiasi Pemain, dan Asosiasi Pelatih, benar-benar menggunakan haknya demi perubahan sepak bola nasional di masa mendatang.

"Mereka harus memikirkan sepak bola Indonesia bukan hanya hari ini, tapi jauh ke depan dan itu diimplementasikan dalam bentuk keseriusan membentuk kepengurusan dengan memilih orang yang tepat," tandasnya. Selain soal pergantian kepengurusan, dia juga berharap KLB nanti juga merevisi statuta PSSI dalam hal penyelenggaraan kompetisi.

Ke depan, menurutnya, PSSI harus diberi mandat lebih besar untuk ikut mengawasi dan mengatur kompetisi. Jangan hanya berhenti di operator, yakni PT Liga Indonesia Baru. "Kalau format sekarang, urusan kompetisi wilayah operator, sehingga federasi tidak terlibat. Lalu siapa yang mengawasi, kalau tidak ada federasi? Dulu ada BOPI, tapi sudah dibubarkan," jelasnya. ben/G-1

Baca Juga: