JAKARTA - Proses pembelajaran di kelas sudah harus dibenahi agar bisa menciptakan kelas yang menyenangkan. Hal ini akan dilakukan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan juga sistem zonasi.

"Saat ini, kita fokus pada peningkatan proses pembelajaran, bagaimana meningkatkan kompetensi pembelajaran di kelas. Jadi prosesnya, bukan konten atau materi pembelajarannya," kata Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Supriano, saat membuka program Innovative Schools Programme (ISP), di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Supriono, untuk masalah konten atau materi pembelajaran guru-guru Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Tetapi, yang masih menjadi kendala adalah bagaimana prosesnya sehingga menjadikan kelas menyenangkan, siswa berpatisipasi aktif, dan siswa mampu mengungkapkan keinginannya.

Ia mengatakan untuk persentase peningkatan proses pembelajaran terdiri dari 70 persen pedagogik dan 30 persen konten atau materi pelajaran. "Jika proses pembelajaran sudah baik, maka akan menghasilkan mutu yang baik pula," kata dia.

Dalam kesempatan itu, Supriano menyambut baik ISP yang diinisiasi sejumlah sekolah satuan pendidikan kerja sama yakni Jakarta Intercultural School (JIS) bersama Yayasan Emmanuel, dan Mentari Intercultural School Jakarta dan lainnya.

Dengan metode modern, para pengajar dari sekolah SPK (Satuan Pendidikan Kerja Sama) berbagi pengetahuan internasional mereka tentang cara dan praktik mengajar yang menarik sehingga dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.

"ISP mendorong para guru agar melibatkan para murid selama proses tersebut. Mereka harus melakukan pendekatan dengan berbagai pertanyaan sehingga partisipasi siswa lebih tinggi," kata Community Educational Outreach Coordinator JIS, Greg Zolkowski.

Greg menjelaskan, bagi pihaknya pengetahuan tidak statis berada dalam kotak tertutup, karena hal itu bisa diperoleh dari banyak arah dalam kelompok.

Guru Vokasi

Secara terpisah, Staf Ahli Bidang Inovasi dan Daya Saing Kemdikbud, Ananto Kusuma Seta, mengatakan Kemendikbud terus mendorong para profesional sebagai guru, khususnya guru vokasi. Hal ini seiring dengan masih terbatasnya sumber daya pengajar di bidang vokasi.

"Kalau guru-guru lain ada jurusannya. Tapi kelautan, SMK Pertanian, guru SMK IT, industri kreatif itu tidak dipersiapkan di perguruan tinggi," ujarnya.

Kekhawatiran yang timbul ketika menjadikan para profesional sebagai guru adalah kemampuan dalam pengajaran tiap materi. Terkait itu, Ananto menjelaskan bahwa ada syarat dan proses yang mesti dipenuhi oleh para profesional tersebut. "Tidak langsung jadi guru. Dia harus juga lulus untuk tingkat pedagogiknya. Kuatkan pedagogiknya sehingga bisa seperti guru mengajar di kelas," ujarnya. ruf/E-3

Baca Juga: