Budaya yang harusnya memiliki pondasi literatur, kini makin tergerus oleh pesatnya perkembangan teknologi.
Rempah-rempah selalu identik dengan bahan baku masakan. Namun dalam arti yang lebih luas, rempah-rempah tidak sekedar bahan baku masakan.
Rempah-rempah menyimpan berbagai cerita sejarah, jalur perdagangan, monopoli perdagangan sampai pembuatan hukum internasional. Melalui rempah-rempah, cerita tentang kekayaan negeri akan terkuak di permukaan.
Sebut saja cengkeh. Cengkeh yang terdapat di Maluku sebagai jantung rempah-rempah Tanah Air memiliki latar belakang terbentuknya hukum laut. Ini lantaran Spanyol dan Portugis berebutan menguasai Maluku.
Lalu, Bangka Belitung yang pernah menjadi penghasil lada, tentu menyimpan cerita sebagai jalur perdagangan. Karena di masa pentingnya, banyak ditemukan kapal-kapal tenggelam yang berikan keramik china semasa Dinasti Tang.
Cerita-cerita tersebut akan diperoleh melalui beragam literasi, informasi dari para ahli maupun komunitas masyarakat setempat. "Jadi mau nggak mau belajar," ujar Kumoratih Kushardjanto, Ketua Negeri Rempah Foundation, yayasan yang bergerak untuk berbagi pengetahuan tentang Jalur Rempah dalam talk show dalam acara Travel Addict Festival, di Jakarta, belum lama ini.
Proses pembelajaran selain menambah pengetahuan juga untuk mengasah daya kritis. Seperti keinginan pemerintah mengajukan Jalur Rempah ke UNESCO sebagai world heritage.
Lantas, sejauh mana label tersebut akan menguntungkan masyarakat? Misalnya, dari sisi ekonomi? Sampai saat ini, Negeri Rempah Foundation mengaku belum memiliki program tetap.
Kegiatannya masih mengandalkan para relawan yang berasal dari kalangan ahli maupun pemerhati. Namun setiap tahunnya, organisasi tersebut memiliki kegiatan diskusi, menerbitkan buku, traveling maupun pasar rempah.
Tahun ini, mereka akan membuat Internasional Forum on Spice Route. Kerena mereka memandang rempah tidak dapat dilihat hanya dari kacamata nasional melainkan juga internasional. Salah satunya mengingatkan bahwa, perdagangan rempah dalam negeri terjadi secara internasioanal.
Kegiatan yang akan diisi oleh para pakar dan peneliti dari dalam dan luar negeri itu, akan menyandingkan Jalur Rempah setara dengan Jalur Sutra Maritim dari China dan Proyek Angin Muson dari Indonesia. Keduanya memiliki narasi mengolah jalur perdagangan.
Negeri Rempah Foundation berawal perkumpulan komunitas budaya yang menelaah tentang ragam budaya di Tanah Air. Beberapakali, mereka diundang dalam acara terkait traveling dan budaya.
Organisasi yang berdiri pada 2012 ini juga kerap melakukan diskusi tentang sejarah dan budaya tanah air dengan mendatangkan pakar.Suatu saat, Hassan Wirajuda, mantan menteri luar negeri yang kerap menjadi relawan diskusi mengusulkan kegiatan sebagai yayasan supaya berlanjutan.
Pada 2018, kegiatan yang berbingkai Jalur Rempah tersebut menjadi yayasan. Mereka memiliki keinginan untuk mengembalikan tradisi belajar. Proses belajar yang tidak selalu diperoleh di bangku sekolah melainkan melalui traveling maupun program-program yayasan lainnya. din/E-6
Rempah dan Hukum Internasional Masa Lampau
Urusan rempah-rempah tidak sekadar menghasilkan cita rasa pada masakan. Namun, rempah-rempah mampu menghasilkan sebuah hukum internasional. Itulah yang terjadi saat kita menelusuri sejarah.
Ketika Maluku, sebagai daerah penghasil rempah-rempah di Nusantara, diperebutkan antara Spanyol dan Portugis sekitar abad ke 15, kedua negara tersebut pernah membelah bumi menjadi dua sebagai wilayah kekuasaannya. Maluku menjadi incaran dan diperebutkan karena menghasilkan cengkeh dan pala yang laku di pasar Eropa.
"Ada eksplorasi dari barat ke timur, tujuannya untuk mencari Pulau Maluku sebagai penghasil cengkeh dan pala," ujar Bram Kushardjanto, Anggota Dewan Pembina Negeri Rempah Foundation. Eksplorasi tersebut membelah penguasaan bumi bagian barat oleh Spanyol dan timur oleh Portugis.
Perjanjian Zaragoza merupakan perjanjian terakhir setelah Perjanjian Tordensillas antara Spanyol dan Portugis. Dalam Perjanjian Zaragoza, Spanyol mendapatkan wilayah sebelah barat dari garis demargasi, mulai dari Meksiko hingga Kepulauan Filipina.
Sedangkan Portugis mendapatkan wilayah bagian timur dari Brazil ke timur hingga Kepulauan Maluku. Penguasaan penjajah di suatu wilayah pun menjadi dasar kolonialisme dan perbudakan.
"Kalau nggak ada pala dan cengkeh, nggak ada hukum itu," ujar dia tentang perjanjian yang dilakukan Spanyol dan Portugis. Sepertihalnya saat Belanda menguasai Nusantara termasuk Maluku yang kemudian membuat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda.
Suatu saat, Belanda kekurangan modal karena biaya pengiriman rempah-rempah sampai ke negaranya sangat mahal. Solusinya, mereka menjual saham. "Kalau nggak ada VOC nggak ada bursa efek di Indonesia," ujar dia tentang awal munculnya bursa efek di dalam negeri.
Bagi Bram, cerita-cerita dibalik rempah-rempah perlu disebarluaskan, baik melalui hastag maupun berbagai penyelenggaraan acara. Karena, cerita tersebut banyak mengandung nilai sejarah perkembangan bangsa serta perannya di dunia internasional.
Di harapkan dengan cara tersebut, pemerintah dan para pakar terketuk untuk lebih peduli terhadap rempah-rempah di Tanah Air. din/E-6
Mengabadikan Kehidupan Masyarakat Lokal
Perjalanan wisata tidak sekedar selfie lalu di upload di media sosial. Lebih dari itu, perjalanan wisata merupakan proses menyelami daerah tujuan untuk mengenal hingga menghargai kehidupannya.
Hal tersebutlah yang dirasakan Ni Nyoman Sri Natih, arkeolog dan Josh Catti Rahadi, fotografer, saat beberapakali tergabung dalam perjalanan Jalur Rempah. Kehidupan masyarakat lokal maupun kebiasaan yang dilakukannya menjadi pemandang yang menarik untuk diselami dan diabadikan.
Ni Nyoman Sri Natih memilih untuk mengosongkan "isi kepalanya" saat berkunjung ke suatu daerah. "Jadi yang saya tahu, saya "buang dulu isi kepala" saya," ujar dia saat membagi pengalamannya dalam ajang Travel Addict Festival, Sabtu (7/9).
Dengan begitu, ia akan berlajar sesuatu hal baru. Bahkan saat menginjakkan kaki di tempat tujuan, ia telah mendapatkan pengalaman baru. Apalagi, kalau dia dapat ngobrol dengan penduduk setempat.
Bagi perempuan yang biasa disapa Natih ini, mengatakan, berkunjung ke suatu daerah tidak bisa hanya dalam hitungan jam. Dirinya perlu untuk menginap di salah satu rumah penduduk, minimal seminggu.
"Jadi bisa ngerti aktivitas mereka selama 24 jam," ujar dia yang senang mengamati kehidupan masyarakat lokal. Karena dalam kehidupan masyarakat lokal, ada perbedaan aktifitas yang dilakukan perempuan, laki-laki maupun anak-anak.
Melibatkan komunitas lokal menjadi cara untuk mengenal daerah secara lebih dalam. Dari merekalah, segala informasi mengenai suatu daerah dapat diperoleh termasuk menghormati aturan-aturan masyarakat setempat.
Terlebih terkadang, perjalanan tidak sesuai ekspektasi karena berbagai macam kendala, salah satunya cuaca. "Jadi sebenarnya, kita harus bisa berkomunikasi dengan orang lokal. Karena sesungguhnya mereka (orang lokal) ingin berinteraksi dengan pendatang," ujar dia.
Josh Catti Rahadi yang berprofesi sebagai fotografer memiliki pengalaman berbeda dalam mengambil gambar selama perjalanan. Yang paling utama, dia harus cermat menggunakan waktu saat pengambilan gambar.
"Kalau waktunya pendek harus memutar otak supaya dapat terus ikut rombongan. Supaya tidak mencari (obyek) sendiri," ujar dia.
Berbeda dengan perjalanan travel pada umumnya yang lebih banyak mengambil obyek peserta perjalanan. Selama Jelajah Rempah, Josh, begitu dia biasa disapa, lebih banyak menyambil obyek kehidupan masyarakat.
Seperti masyarakat yang tengah mengambil cengkih. Dia akan mengabadikan ekpresi pengambil cengkih, proses pengambilan cengkih, alat yang digunakan maupun proses setelah panen.
"Memang butuh kesabaran sih," ujar dia. Namun hasilnya, dia dapat mengabadikan kehidupan masyarakat lokal. Alhasil perjalanan yang dilakukan tidak sekedar selfie melainkan memaknai kehidupan masyarakat lokal dan alamnya. din/E-6