JAKARTA - Ombudsman RI menemukan adanya potensi maladministrasi dalam program pupuk subsidi dan sedangan mendalaminya. Ombudsman mengendus indikasi penyimpangan mulai dari sistem pendataan, pengadaan, penyaluran, dan pengawasan.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika menegaskan dalam lima tahun terakhir, program pupuk bersubsidi mendapat alokasi sebesar 25-30 triliun rupiah per tahunnya. Namun, faktanya tidak diimbangi dengan hasil produksi yang sepadan. "Padahal, pupuk subsidi bertujuan untuk meningkatkan produksi, kesuburan lahan juga tak cukup baik," ucap Yeka dalam webinar di Jakarta, Jumat (24/9).

Sebagai catatan, pada 2015, pemerintah menggelontorkan pupuk bersubsidi senilai 31,3 triliun rupiah. Setahun kemudian alokasinya mencapai 26,9 triliun rupiah, lalu berurutan 28,8 triliun rupiah pada 2017, sekitar 33,6 triliun ruliah pada 2018, sebesar 34,3 triliun rupiah pada 2019, dan 24,5 triliun rupiah pada 2020.

Menurut dia, jumlah tersebut cukup besar bahkan apabila dibandingkan dengan dana APBN Kementerian Pertahanan (Kementan). Produktivitas pertanian tidak naik signifikan dengan adanya pengeluaran anggaran besar tersebut. Bahkan Indonesia disebutnya masih ketergantungan terhadap impor beras. Dari kondisi tersebut Ombudsman RI kini terus melakukan kajian lanjutan mengenai potensi maladministrasi dalam tata kelola pupuk bersubsidi.

"Kinerja produksi kita juga tidak baik, nah ini yang menjadi salah satu keprihatinan kami. Sehingga jangan-jangan memang permasalah subsidi ini banyak. Jika anggaran ini cukup besar, akan tetapi petani profil semakin kecil siapa, yang diuntungkan dengan adanya kebijakan pupuk bersubsidi ini?" sebutnya.

Dia melanjutkan, ke depan Ombudsman akan meminta keterangan kepada pihak terkait seperti Kementan, Kementerian Perdagangan, dan PT Pupuk Holding Company. "Penyusunan laporan hasil kajian akan menjadi masukan bagi Presiden untuk memperbaiki tata kelola pupuk bersubsidi," ungkap Yeka.

Pemeriksaan Lapangan

Kepala Keasistenan Analisis Pencegahan Maladministrasi Ombusdman RI Cut Silvana mengatakan terkait pendataan, petani/ kelompok tidak terdaftar di E RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Pupuk Bersubsidi Kelompok secara Elektronik) dan datanya tidak akurat. Kemudian dalam hal pengadaan, adanya perbedaan standar minimum bahan baku dan pupuk subdisi dan nonsubsidi. Selanjutnya untuk penyaluran pupuk subdisi tidak sesuai dengan prinsip 6 T, yakni jenis, jumlah, harga, tempat, waktu dan mutu.

"Untuk pengawasan, pengawasan pupuk subsidi oleh Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) di kabupaten/kota tidak berjalan maksimal," ujar Cut Silvina.

Adapun Ombudsman juga akan melakukan pemeriksaan lapangan di dinas pertanian dan dinas perdagangan di tingkat kabupaten/kota, produsen, distributor, pengecer, dan petani di enam provinsi.

Baca Juga: