FSGI meminta pemerintahan baru untuk melanjutkan program pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan karena kasus kekerasan terus meningkat.

FSGI meminta pemerintahan baru untuk melanjutkan program pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan karena kasus kekerasan terus meningkat.

JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) meminta pemerintahan baru untuk melanjutkan program pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan, mengingat tingginya angka kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia, termasuk selama tahun 2024.

"FSGI mencatat tingginya kasus-kasus kekerasan di satuan pendidikan selama Januari-September 2024, total ada 36 kasus yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, dan kebijakan yang mengandung kekerasan," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) FSGI Heru Purnomo dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (4/10).

Ia menjabarkan semua kasus kekerasan di satuan pendidikan tersebut termasuk kategori berat yang terjadi di satuan pendidikan atau yang melibatkan peserta didik, sehingga masuk proses hukum pidana dan ditangani oleh pihak kepolisian.

Adapun dari 36 kasus itu total jumlah korban anak mencapai 144 peserta didik. Oleh karena itu, kata dia, untuk menanggulangi permasalahan kekerasan di satuan pendidikan, FSGI meminta Menteri Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) pada pemerintahan selanjutnya untuk melanjutkan program-program pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan.

Selain itu FSGI juga mendorong sosialisasi untuk memastikan Peraturan Mendikbudristek (Permendikbudristek) 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) diimplementasikan dengan tepat, melalui tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) dan pengambil kebijakan di sekolah.

"FSGI mendorong Tim PPK sekolah dapat mempelajari Persekjen Kemendikbudristek Nomor 49/M/2023 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan," ujar Heru.

Menurutnya, banyak sekolah yang belum mengetahui petunjuk teknis itu dan masih kebingungan dengan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. "FSGI mendorong ada pelatihan bagi para pendidik untuk mengontrol emosi saat menghadapi perilaku peserta didik yang tidak tepat," ujar Heru.

Ia juga meminta Kementerian Agama (Kemenag) untuk menerapkan kebijakan yang sama dengan Kemendikbudristek dalam mencegah dan menangani kekerasan di satuan pendidikan, terutama di lingkungan madrasah dan pondok pesantren.

"Implementasi serta Bimtek PMA Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Madrasah dan Pondok Pesantren," imbuhnya.

Tidak Dibenarkan

Terpisah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menegaskan bahwa penggunaan kekerasan tidak dibenarkan dalam mendisiplinkan anak, baik di rumah maupun di satuan pendidikan.

"Kami berduka atas meninggalnya seorang anak, dan kami tidak membenarkan penggunaan kekerasan dalam mendisiplinkan anak, baik di rumah maupun di satuan pendidikan," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar, kemarin.

Hal ini dikatakan Nahar menanggapi kasus seorang siswa madrasah tsanawiiyah(MTs) di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, yang meninggal dunia pasca dilempar kayu berpaku oleh gurunya. "Dalam kasus ini diduga pelaku melakukan kekerasan terhadap anak dan Pasal 76C UU Nomor 35 Tahun 2014 menegaskan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak," kata dia.

Nahar menilai kasus ini merupakan delik biasa dan dapat diproses langsung oleh penyidik tanpa persetujuan dari korban atau pihak yang dirugikan. "Jadi seharusnya kasus ini otomatis dapat diproses secara hukum," katanya.

Menurut dia, dampak yang diderita korban akibat dari kekerasan akan menentukan sanksi pidana yang dikenakan terhadap pelaku, dengan ancaman sebagaimana diatur dalam Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014. "Karena perbuatan terduga pelaku telah mengakibatkan anak meninggal dunia, maka pelaku terancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan atau denda paling banyak 3 miliar rupiah," kata Nahar. Ant/S-2

Baca Juga: