Sektor pendidikan vokasi tidak hanya dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal saja. Jalur nonformal pun bisa melakukan pendidikan vokasi, salah satunya melalui pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK).
Pelatihan oleh lajur nonformal ini bisa dioptimalkan untuk menciptakan sumber daya manusia yang bisa diserap pasar kerja.
Tetapi, banyak tantangan dalam melaksanakan pelatihan di BLK. Mulai dari belum meratanya kualitas di masing-masing BLK, tanggung jawab pengembangan BLK yang dibagi berdasarkan otonomi daerah, hingga respons BLK selama masa pandemi Covid-19 dan menjelang Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB).
Untuk mengupas kondisi BLK di Indonesia, Koran Jakarta mewawancarai Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Dirjen Binalattas), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Bambang Satrio Lelono. Berikut petikan wawancaranya.
Secara umum bisa dijelaskan perbedaan pendidikan vokasi di BLK dan di jalur formal?
Pelatihan di BLK masuk ranah nonformal. Pelatihan ini biasanya durasinya pendek, tergantung dari kompetensi apa yang ingin kita capai. Ada yang seminggu, dua minggu, dua bulan, tapi ada juga dua tahun.
Program-program pelatihannya itu langsung dan menyentuh pada kebutuhan industri. Jadi kalau industri butuh apa, bisa didesain. Pelatihan fleksibel dan bisa dikombinasikan dengan program-program lainnya.
Pelatihan di BLK juga tidak ada batasan usia. Selama mau belajar dan berlatih bisa difasilitasi. Tapi, BLK sendiri menyeleksi untuk mengetahui minat, bakat, dan motivasi. Dengan seleksi tadi tentunya tingkat keberhasilan pelatihan itu tinggi sehingga peserta mereka bisa kompeten dan bisa terserap pasar kerja dan berwirausaha.
Pada masa pandemi Covid-19 pelatihan di BLK sempat terhenti. Bagaimana persiapan Kemnaker membuka pelatihan di BLK dalam menghadapi AKB?
Ketika pandemi, memang pelatihan reguler kita tutup, tapi tidak 100 persen. Kita juga mendesain yang kita sebut program pelatihan tanggap Covid-19. Program-program ini khusus memproduksi barang-barang yang bisa mencegah penularan Covid-19. Misal produksi masker, hazmat, wastafel portable. Hasilnya cukup signifikan. Minggu lalu secara nasional sudah diserahkan oleh Bu Menteri Ketenagakerjaan.
Pada masa AKB format pelatihannya masih tatap muka?
Dengan adanya pandemi kita disadarkan pelatihan-pelatihan yang kita laksanakan tidak reguler, tapi memanfaatkan sistem teknologi informasi. Misalkan pelatihannya dilakukan online dan offline maupun blended learning. Itu sudah kita persiapkan. Dengan adanya pandemi mau tidak mau kita mulai.
Untuk tatap muka atau offline itu langsung di BLK. Sedangkan, online atau blended learning sebagian materi online, tapi praktik skema offline dan tetap bertemu di BLK dengan mengikuti protokol kesehatan.
Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, ada BLK-BLK yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Bagaimana Kemnaker menjaga kualitas BLK-BLK tersebut?
Sejak diterapkan otonomi daerah, pemerintah pusat tidak bisa intervensi total kepada BLK di bawah pemerintah daerah. Jadi kita hanya bisa membantu biaya-biaya pelatihan, peralatan, akreditasi, sertifikasi, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu kita berharap ada sharing cost dari pemerintah daerah. Pemda mau membangun fasilitas untuk workshop dan ruang teori pelatihan serta memeliharanya. Kita membantu peralatan, biaya pelatihan, sertifikasi dan akreditas.
Indonesia diramalkan menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2045. Apa BLK yang ada di Indonesia sudah siap?
Untuk mewujudkan negara terbesar di bidang ekonomi pada tahun 2045, setiap tahunnya mulai sekarang setidak-tidaknya kita memproduksi tenaga terampil dan semi terampil itu 3 juta tenaga kerja terampil per tahun. Tapi harus lintas sektor sehingga jumlah ini bisa tercipta pertahunnya. n m ma'ruf /P-4