JAKARTA - Produktivitas dan daya saing Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN. Untuk mengejar ketertinggalan ini, diperlukan dukungan seluruh komponen bangsa agar peningkatan produktivitas dan daya saing berjalan lebih cepat.
Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas) Kementerian Ketenagakerjaan, Bambang Satrio Lelono, mengatakan hal tersebut dalam Rapat Pleno Paripurna Lembaga Produktivitas Nasional (LPN) Tahun 2018, di Kantor Kemnaker, Jakarta, Rabu (18/12).
Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF), indeks daya saing global Indonesia pada tahun 2018 naik ke peringkat 45 dari peringkat 47. Peningkatkan daya saing tersebut diukur dengan 12 pilar, di antaranya kualitas institusi, infrastruktur, kondisi makroekonomi, pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar, pelatihan dan pendidikan, efisiensi pasar barang, dan efisiensi pasar tenaga kerja.
"Ukuran-ukuran tersebut dapat diperbaiki dan ditingkatkan apabila kita peduli terhadap peningkatan produktivitas, baik di kalangan institusi pemerintahan, dunia usaha, dunia pendidikan/profesi, maupun di masyarakat," kata Satrio.
Selain itu, selama tahun 2011-2017 produktivitas tenaga kerja di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2017, produktivitas tenaga kerja di Indonesia tumbuh sebesar 2,89 persen, lebih cepat jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 1,85 persen. "Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tenaga kerja di Indonesia semakin baik," jelas Satrio.
Kendati secara global daya saing Indonesia meningkat, di tingkat ASEAN Indonesia masih kalah dari beberapa negara ASEAN lain. Daya saing Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Indonesia hanya unggul dari Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, serta Laos.
Menurut Dijen Binalattas, LPN sendiri pada tahun 2018 lebih memfokuskan kepada pengembangan Gerakan Nasional Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing (GNP2DS). Agar upaya GNP2DS berjalan lebih cepat, ia menekankan perlunya disusun strategi dan kebijakan nasional. "Untuk itu, maka perlu dibuatkan dasar hukum sebagai acuan nasional dalam mengimplementasikan Gerakan Nasional tersebut," ujarnya.
Terjadi Perubahan
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua LPN, Iskandar Simorangkir, menyatakan revolusi industri 4.0 menyebabkan perubahan model bisnis dan jenis pekerjaan. Era ini juga memungkinkan mengubah pola hubungan kerja. Oleh karena itu, revolusi industri ini harus bisa dimanfaatkan untuk untuk mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing.
"LPN harus ikut mengkaji ini agar tetap meningkatkan produktivitas tenaga kerja, sehingga daya saing Indonesia juga tetap meningkat," paparnya. ang/E-3