>> Konten impor tinggi, andalkan konsumsi untuk pertumbuhan akan sangat riskan.
>> Ekonomi Indonesia masih dalam posisi hati-hati, perkuat pembenahan ekspor.
JAKARTA - Sejumlah kalangan mengingatkan di tengah-tengah tren perlambatan ekonomi global, pemerintah semestinya tidak terlalu mengandalkan sektor konsumsi sebagai penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, pemerintah justru perlu mendorong peningkatan produksi nasional untuk substitusi impor.
Ekonom Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Suharto, menilai dalam situasi pelemahan perdagangan dan ekonomi dunia, mengandalkan konsumsi sebagai tumpuan pertumbuhan ekonomi akan sangat riskan. Sebab, konsumsi Indonesia banyak menggunakan impor.
Apabila, di saat yang sama ekspor tertekan oleh perlambatan global maka defisit neraca perdagangan akan semakin melebar, sehingga hasil akhirnya akan mereduksi pertumbuhan.
"Maka secara teoritis, memacu kenaikan produksi nasional untuk substitusi impor adalah jawabannya. Namun, itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu upaya kuat dari pusat sampai daerah," kata Suharto, ketika dihubungi, Senin (11/3).
Menurut dia, Indonesia bisa dikatakan baru membenahi paradigma ekonomi dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, ekonomi selalu didorong oleh konsumsi (sisi permintaan) dan cenderung mengabaikan pembangunan sektor produksi (sisi penawaran).
Artinya, ibarat memulai bisnis, Indonesia belum bisa memetik hasil apalagi balik modal. "Jadi, ke depan menjaga stabilitas ekonomi saja akan menjadi pekerjaan sulit, mengingat harga-harga komoditas juga akan tertekan karena penurunan permintaan dari Tiongkok," papar Suharto.
Terkait dengan perlambatan global, Organisasi Negara untuk Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development/ OECD) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2019 menjadi 3,3 persen, dari sebelumnya 3,5 persen.
Lembaga itu menjelaskan ketidakpastian kebijakan yang tinggi, ketegangan perdagangan yang sedang berlangsung, dan erosi lebih lanjut dari bisnis dan kepercayaan konsumen semuanya berkontribusi terhadap perlambatan. Misalnya, di Eropa tetap dipengaruhi oleh ketidakpastian atas rencana Inggris untuk keluar dari Uni Eropa atau Brexit. Sedangkan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok masih berkutat soal perang dagang. Selain OECD, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia juga telah menurunkan proyeksi pertumbuhan global.
Menanggapi hal itu, Menko Perekonomian, Darmin Nasution, menilai Indonesia tidak akan banyak terpengaruh. "Ekonomi kita pertumbuhannya itu masih sangat dipengaruhi oleh perkembangan proyek-proyek infrastruktur yang sudah dimulai, yang akan jalan saja terus. Beda dengan kalau belum ada investaisnya, boleh jadi akan terpengaruh," jelas dia, Senin.
Menurut dia, pemerintah masih mempertahankan target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen tahun ini, sekalipun proyeksi pertumbuhan ekonomi global dipangkas.
Darmin mengemukakan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, daya dorongnya adalah konsumsi dan investasi. Pemerintah juga tengah membenahi ekspor. "Sebetulnya terutama konsumsi masyarakat dan investasi. Investasi tentu ekspor kita sedang berupaya, saya belum berani mengatakan ekspornya," kata dia.
Benahi Ekspor
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hartanti, meminta pemerintah terus membenahi ekspor dan memperketat pengawasan. Menurut dia, pelemahan ekonomi global akan berpengaruh ke Indonesia, sehingga perlu diantisipasi sejak dini. "Saya ragu jika hal itu dianggap tidak ada dampaknya. Perlambatan perekonomian dunia sebenarnya sudah diprediksi oleh Bank Indonesia (BI) dan tentu ada efeknya untuk ekonomi domestik," ungkap dia.
Menurut Rachmi, kejadian tahun lalu masih membayangi perekonomian Indonesia saat ini. Untuk itu, solusi atas defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) harus terus diupayakan guna memperkuat fundamental ekonomi. "Ekonomi kita masih dalam posisi hati-hati. Percaya diri untuk perekonomian stabil boleh saja, tapi hitungan dan strategi yang disusun harus tepat. Pembenahan ekspor harus terus diawasi," tegas dia.
Sebelumnya, Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan bank sentral memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen tahun ini, atau lebih rendah dari target pemerintah 5,3 persen. Pasalnya, ekonomi Indonesia masih mendapatkan banyak tantangan di sepanjang 2019, terutama dari CAD, yang tahun lalu masih mencapai 31,1 miliar dollar AS atau 2,98 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). YK/ers/WP