Jika produktivitas tak dipacu, dikhawatirkan impor daging bakal meningkat dalam pemerintah mendatang seiring kenaikan kebutuhan untuk mendukung program makan bergizi gratis.
JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) perlu meningkatkan produksi protein hewani, terutama daging sapi dan kerbau pada 2025. Hal tersebut untuk mendukung adanya program makan bergizi pada pemerintah mendatang.
Anggota Komisi IV DPR RI, Endro Hermono, mengatakan dengan program makan bergizi tentunya kebutuhan daging dan susu bakal bertambah. "Kementan harus dapat meningkatkan target produksi, tidak hanya di tingkat 399,41 ton untuk daging sapi-kerbau pada 2025, tetapi kami mohon untuk lebih tinggi lagi," ujarnya dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Menteri Pertanian di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (26/8).
Seperti diketahui, pada 2025, lembaga penanggung jawab sektor hulu pertanian itu telah menargetkan produksi komoditas utama. Target produksi tersebut, antara lain produksi beras 32 juta ton, jagung 16,68 juta ton, kedelai 350.000 ton, aneka cabai 3.08 juta ton. Lalu untuk bawang merah 1,99 juta ton, kopi 772 ribu ton, kakao 641,4 ribu ton, tebu 36,04 juta ton, kelapa 2,88 juta ton, daging sapi-kerbau 399,41 ribu ton, dan daging ayam 4,34 juta ton.
Kemudian, pada 2025, lembaga itu mendapatkan pagu anggaran sebesar 7,91 triliun rupiah. Politisi Fraksi Partai Gerindra itu menilai anggaran ini masih terlalu kecil sehingga dirinya mendukung untuk Kementan meminta penambahan anggaran. Hal ini untuk mewujudkan swasembada pangan Indonesia.
"Guna mewujudkan swasembada pangan di Indonesia dibutuhkan anggaran yang memadai dan melihat dana yang ada ini, kami Fraksi Partai Gerinda sepakat untuk meminta penambahan anggaran Kementerian Pertanian pada 2025," tutur legislator dapil Jawa Timur VI itu.
Sementara itu, Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman, menegaskan sangat mendukung program makan bergizi gratis yang disiapkan Presiden terpilih Prabowo Subianto ke depan. Persiapan itu di antaranya adalah meningkatkan produksi daging maupun proses hilirisasi yang dikerjasamakan dengan para pengusaha besar.
"Kita komitmen akan mendukung program makan bergizi gratis, antara lain meningkatkan produksi daging (sapi, kambing, dan ayam) sampai pada tingkat pengolahannya (hilirisasi) juga akan kita siapkan melalui offtaker yang ada," ujar Mentan usai menghadiri Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR RI, Senin (26/8).
Menurut Mentan, kehadiran pengusaha sangat dibutuhkan untuk mempercepat jalannya program yang diinginkan Presiden terpilih nanti. Namun begitu, dia berharap pemerintah juga menambah jumlah anggaran kementan sebesar 68 triliun rupiah.
Tantangan Serius
Pada kesempatan lain, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti sejumlah tantangan yang dihadapi sektor pertanian Indonesia, yang harus menjadi perhatian serius bagi pemerintahan baru. Tantangan tersebut meliputi inefisiensi subsidi pupuk, keterbatasan akses terhadap teknologi, ketimpangan akses pembiayaan, dan bantuan sosial bagi keluarga petani yang belum merata.
Dalam sebuah diskusi yang diikuti, di Jakarta, Selasa (27/8), Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef, Abra Talattov, menjelaskan anggaran ketahanan pangan sebetulnya relatif meningkat dalam dua tahun terakhir. Anggaran ketahanan pangan sebesar 80,7 triliun rupiah pada 2019 naik menjadi 114,3 triliun rupiah pada 2024.
Namun, di sisi lain, alokasi anggaran untuk subsidi pupuk justru menurun. Pada 2019 misalnya, anggaran subsidi pupuk mencapai 34,3 triliun rupiah, tetapi dalam APBN 2024 anggaran subsidi pupuk turun menjadi 26,7 triliun rupiah. Padahal, harga pupuk dunia terus merangkak naik akibat konflik global, terutama perang Rusia dan Ukraina.
Pemerintah dalam beberapa kesempatan menyampaikan pengurangan anggaran pupuk subsidi dilakukan, karena pemerintah tengah berupaya melakukan reformasi subsidi pupuk, salah satunya dengan penerapan skema bantuan langsung pupuk (BLP) kepada petani melalui kartu tani atau kartu tani digital secara bertahap.
"Namun, masalah di lapangan banyak petani yang mengaku belum bisa mengakses pupuk bersubsidi, karena adanya persoalan birokrasi di desa dan masih terjadinya praktik politisasi terhadap akses subsidi pupuk," kata Abra.