» Kebijakan lama dengan mengimpor pangan di saat panen harus segera dihentikan.
» Pemerintah perlu membuat skenario bagaimana meningkatkan produksi dalam negeri.
JAKARTA - Untuk mendorong kaum milenial menjadi petani modern, pemerintah harus mengubah kebijakan yang sudah puluhan tahun diberlakukan tanpa ada perubahan seperti importasi pangan dan penetapan harga komoditas produksi petani lokal yang sangat rendah.
Pakar pertanian dari Universitas Trunojoyo Bangkalan, Madura, Ihsannudin, mengatakan pemerintah perlu meningkatkan keberpihakan kepada petani kalau ingin membangkitkan sektor pertanian. Salah satunya dengan menciptakan kondisi agar petani untung saat bercocok tanam.
"Supaya petani bergairah dan hasil produksi dapat mencukupi permintaan, mereka perlu dirangsang dari sisi harga. Kita bisa mengambil pelajaran dari negara-negara maju yang menerapkan pull motivation berupa harga beli yang pantas," kata Ihsannudin.
Selama ini, jelasnya, pemerintah hanya menerapkan push motivation berupa subsidi benih dan pupuk, padahal rangsangan seperti ini sifatnya hanya lebih memotivasi. Apalagi, karakter dari hasil pertanian berbeda dengan produk industri yang sifatnya producer preference yakni harga ditetapkan oleh produsen berdasarkan biaya produksi dan promosinya.
"Produk pertanian lebih bersifat consumer preference. Artinya, ditentukan oleh masyarakat pembeli. Pemerintah perlu mulai memikirkan menyubsidi harga belinya ke petani seperti yang dilakukan negara lain. Selama ini belum dilakukan karena kesiapannya kurang," katanya.
Secara terpisah, Penasihat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, mengatakan bukan hal aneh kalau harga produk pertanian jatuh ketika datang musim panen karena pasokan yang berlebihan dan di saat yang sama ketika musim panen justru pemerintah malah mengimpor pangan sehingga harga di tingkat petani otomatis jatuh.
"Belum lagi harga gabah sering dimainkan oleh oknum pengepul dengan menunda pembelian. Dalam posisi terdesak, petani akhirnya menjual murah," katanya.
Sudah menjadi kewajiban pemerintah, paparnya, untuk menjaga harga agar tidak terlalu jatuh dengan mengendalikan impor supaya petani tidak merugi seperti dimandatkan dalam Undang-Undang (UU) Pangan, UU Perdagangan, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
"Pemerintah wajib menciptakan harga komoditas pertanian yang stabil melalui penetapan harga dan menyerap hasil panen guna membangun cadangan pangan pemerintah," katanya.
Pacu Produksi
Sementara itu, Koordinator Nasional, Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan persoalan klasik sektor pertanian karena distribusi yang tidak merata, lalu produksi terkonsentrasi pada lokasi tertentu dan masa panen yang menumpuk pada satu waktu/musim juga memengaruhi harga di pasar.
Pemerintah, kata Said, juga perlu membatasi bahkan menyetop impor untuk menjaga agar petani lokal mampu mendapatkan harga yang sesuai untuk produk yang mereka jual serta tidak terlalu bersaing dengan produk luar yang masuk ke pasar nasional.
"Kita harusnya punya skenario bagaimana meningkatkan produksi dalam negeri sambil perlahan mengurangi impor hingga akhirnya kita bisa setop impor sama sekali. Bisa juga dengan melakukan proteksi produk dalam negeri melalui penetapan bea tarif dan nontarif," jelas Said.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto, dalam keterangan virtualnya di Jakarta, Senin (2/11), mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) pada Oktober 2020 sebesar 102,25 atau naik 0,58 persen dibandingkan NTP pada September 2020 yakni sebesar 101,66.
"Kenaikan tersebut disebabkan indeks harga yang diterima petani (It) naik sebesar 0,81 persen, lebih tinggi dari kenaikan indeks harga yang dibayar petani (Ib) sebesar 0,23 persen," kata Suhariyanto.
Dengan demikian, secara nasional, NTP Januari-Oktober 2020 sebesar 101,36 dengan nilai It sebesar 107,02 sedangkan Ib sebesar 105,58.
Pada Oktober 2020, NTP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengalami kenaikan tertinggi yakni 2,49 persen dibandingkan kenaikan NTP provinsi lainnya. Sebaliknya, NTP Provinsi Banten mengalami penurunan terbesar 1,13 persen dibandingkan penurunan NTP provinsi lainnya. n SB/uyo/ers/E-9