Selain melibatkan seluruh stakeholder, dalam pengembangan sagu diperlukan penataan dari aspek perbenihan, infrastruktur, alsintan, SDM, kelembagaan, dan pembiayaan.
JAKARTA - Pemerintah mendorong pengembangan dan pemanfaatan sagu untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan dunia. Karena itu, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) meluncurkan program unggulan, Sagunesia (Sagu untuk Indonesia).
Direktur Jenderal Perkebunan Kementan, Andi Nur Alam Syah, menegaskan pihaknya harus mempersiapkan langkah dan prediksi yang akan terjadi ke depannya agar kebun yang ada bisa memenuhi kebutuhan ke depan. Dia menambahkan penguatan teknologi diperlukan agar menghasilkan produksi dan produktivitas berkualitas dan bernilai tambah, serta kejelasan target pasar atau industrinya.
"Karena itu, UKM atau koperasi yang sudah kita bangun terjamin atau memiliki target pasar yang jelas, apalagi di tengah perubahan iklim yang terjadi, pandemi Covid-19 dan akibat perang Ukrania-Russia yang tak dapat dipungkiri mempengaruhi distribusi pangan dunia. Potensi sagu Indonesia yang besar dapat menjadi solusi di tengah krisis ini," jelas Andi dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Kamis (7/7).
Andi menjelaskan pengembangan sagu perlu melibatkan petani lokal dan memperhatikan positioning dan kemasan produk. Hal itu dimaksudkan agar dapat bersaing di pasar global, termasuk melalui e-commerce.
Potensi sagu Indonesia mencapai 85 persen dari total sagu dunia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, potensi lahan sagu tercatat 5,5 juta hektare (ha) yang tersebar di sentra produksi nasional, meliputi Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Dalam pengembangan sagu, terutama sektor di hilir, dibutuhkan skema kemitraan dan penguatan kelembagaan agar lebih kuat, serta menjaga kepastian pasar dan harga.
Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjen Perkebunan, Hendratmojo Bagus Hudoro, menilai dalam pengembangan sagu diperlukan sinergi seluruh pihak, baik pemerintah pusat, daerah, pelaku usaha perkebunan, pakar praktisi dan pekebun, serta pihak terkait lainnya.
Langkah lainnya adalah perlunya penataan dari aspek perbenihan, infrastruktur, penyediaan alat mesin pertanian (alsintan). Hal tersebut akan digunakan untuk menghasilkan produk turunan sagu, penguatan koperasi atau kelembagaan pekebun, peningkatan SDM, dan pemanfaatan KUR kredit serta investasi.
"Diharapkan sagu dapat dikembangkan secara luas dan sebagai motor penggerak perekonomian negara," ujarnya.
Nilai Keekonomian
Sementara itu, Pakar Sagu dan Ketua Masyarakat Sagu Indonesia, Prof H M Bintoro, mengatakan lahan pertanian terutama padi berkurang dua persen sehingga menjadi peluang bagi sagu untuk dapat mengatasi permasalahan pangan di Indonesia maupun dunia. Saat ini, konsumsi lokal yang cukup tinggi yaitu di Meranti, Bangka, dan Kendari, dan Halmahera juga memiliki potensi besar.
"Di Sulawesi Tenggara, Konawe, Petani bisa memperoleh 10-15 juta per bulan. Pemanfaatan sagu untuk beras sagu, kue, mi sagu, dan gula cair dari sagu di mana sudah ada teknologinya tinggal diperkuat pembinaan pengawalan dalam pengembangannya. Pengembangan sagu perlu diperhitungkan nilai keekonomiannya sehingga menarik bagi korporasi. Selain saguintercropping dengan palawija dan sayuran dapat menambah pendapatan petani," tuturnya.
Salah satu pelaku usaha, Dwi Asmono, menyebutkan mengembangkan potensi sagu membutuhkan waktu lama. Dengan begitu, memerlukan konsep pendanaan atau pembiayaan jangka panjang dan komitmen yang kuat.
"Melihat kondisi pasar dalam negeri maka diperlukan upaya bagaimana meningkatkan kualitas produk pati dan mendorong ekspor dan regulasi sebagai insentif bagi pelaku usaha sagu," ujar Dwi.