oleh abraham fanggidae

Defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus defisit. Tahun 2018 defisit 9,1 triliun rupiah, lalu naik menjadi 32,8 triliun tahun ini. Jika untuk menutup defisit iuran BPJS kesehatan dinaikkan, para peserta mandiri protes, terutama yang membayar sendiri. Peserta mandiri BPJS Kesehatan tidak termasuk penerima bantuan iuran (PBI) dan penerima bantuan upah (PBU) pemerintah.

Pasal 161 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan disebutkan besar iuran peserta JKN harus ditinjau setiap dua tahun. Jika pemerintah tidak menaikkan iuran, BPJS Kesehatan akan terus krisis keuangan. Pemerintah juga akan menyuntik dana.

Yang lebih serius, dampak krisis keuangan BPJS Kesehatan, klaim rumah sakit tidak dapat dilunasi tepat waktu. Dampak lainnya, utang BPJS Kesehatan kepada pihak ketiga yang menyediakan alat kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas makin menggunung. Ini kisah klasik.

Solusi menaikkan iuran sulit dihindari. Menurut perhitungan iuran yang sedang berjalan adalah tarif diskon, tidak sesuai dengan perhitungan aktuaria. Besaran iuran peserta masih jauh lebih kecil dari total pengeluaran BPJS Kesehatan. Konsekuensinya, BPJS Kesehatan selalu menunda membayar utang kepada rumah sakit, Puskesmas, dan perusahaan alkes.

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sempat mengusulkan skema kenaikan tarif 83 persen bagi PBI yang ditanggung pemerintah pusat dan daerah. Sedangkan untuk peserta mandiri kelas I dan II, diusulkan 47 dan 50 persen. Angka tersebut masih lebih rendah dari usulan Kementerian Keuangan yang melebihi 100 persen yang akhirnya disetujui.

Jadi, skema iuran BPJS Kesehatan terbaru untuk peserta kelas I naik dari 80.000 menjadi 160.000. Untuk layanan kelas II dinaikan 51.000 menjadi 110.000. Iuran layanan kelas III naik 25.500 menjadi 42.000.

Dengan kenaikan ini diharapkan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menerima pelayanan kesehatan makin berkualitas. Dana yang terkumpul juga akan menutup defisit hingga akhir tahun 2019. Bahkan menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, kenaikan iuran akan membuat surplus.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, skema baru mulai berlaku pada 1 September 2019. UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan mengharuskan, warga negara menjadi peserta BPJS Kesehatan. Pada Maret 2019 Mahkamah Konsistusi (MK) menolak uji materi kewajiban sebagai peserta BPJS Kesehatan dari warga bernama Nur Ana Apfianti. MK menilai, kepesertaan BPJS Kesehatan tetap wajib sebagai bentuk perlindungan negara agar rakyat mendapat pelayanan kesehatan.

Nur Ana menggugat Pasal 14 UU Nomor 24/2011 tentang BPJS yang mewajibkan BPJS Kesehatan. Ia merasa dirugikan lantaran harus membayar premi asuransi BPJS Kesehatan dan swasta. Di negara kaya sekali pun setiap warga peserta asuransi kesehatan wajib membayar iuran seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, atau Jepang.

Masalah Besar

Peserta mandiri BPJS Kesehatan yang menunggak iuran menjadi masalah besar. Ada 15 juta peserta yang menunggak. Bahkan ada peserta hanya membayar iuran saat membutuhkan layanan kesehatan. Lagi pula, tidak semua anggota keluarga membayar iuran. Hanya anggota keluarga yang akan berobat yang membayar.

Di samping itu, masih banyak masyarakat belum menjadi peserta BPJS. Iuran dibauar sebelum tanggal 10. Terlambat satu bulan layanan diberhentikan sementara di Puskesmas dan rumah sakit. Sebelumnya, BPJS memberi kelonggaran hingga enam bulan tunggakan iuran sebelum pelayanan diberhentikan.

Pemerintah menyadari kondisi kesehatan setiap individu dan keluarga harus lebih baik dari waktu ke waktu. Apalagi pemerintah punya komitmen lima tahun ke depan akan menggiatkan pembangunan SDM. Tidak boleh seorang pun tidak terjangkau layanan kesehatan.

Ada buku yang ditulis Hans Rosling (2019), Factfulness: Ten Reasons We're Wrong About The World-And Why Things Are Better Than You Think. Antara lain dikatakan, layanan kesehatan publik sesungguhnya telah mampu menciptakan "keajaiban" (miracle) bagi kemanusiaan di Bangladesh dan Mesir. Di Bangladesh, tahun 1972, awal kemerdekaan, perempuan rata-rata memiliki 7 anak. Rata-rata harapan hidup hanya sampai usia 52. Peningkatan layanan kesehatan membuat perempuan Bangladesh rata-rata hanya mempunyai 2(anak), dan usia harapan hidup menjadi 73 tahun.

Empat dekade terakhir, kehidupan masyarakat Bangladesh beranjak dari kemiskinan ke kondisi hidup yang layak. Telah terjadi peningkatan layanan kesehatan dasar dan kelangsungan hidup anak-anak. Perbaikan kesehatan telah meningkat dari level 1 ke 2. Pada awal kemerdekaan (level 1) kelangsungan hidup anak kurang dari 80 persen, kini di atas 97 persen.

Orangtua Bangladesh semakin yakin kesehatan anak-anak dan kelangsungan hidup anak semakin tinggi. Memiliki keluarga besar dengan banyak anak, itu peristiwa masa lalu yang tak mungkin terulang (level 2).

Kemudian, tahun 1960 sekitar 30 persen anak Mesir meninggal sebelum usia 5. Yang bertempat tinggal di sepanjang sungai Nil hidup dalam kesengsaraan. Anak-anak menderita penyakit menular, mengalami kekurangan gizi akut. Tapi perbaikan terjadi saat pemerintahan membangun bendungan Asman yang menjadi sumber pembangkit tenaga listrik ke rumah-rumah warga, serta memfasilitasi penyediaan air bersih kepada warga.

Pemerintah memperbaiki sektor pendidikan dan membangun Puskesmas. Instalasi kesehatan tersebut sebagai perang frontal terhadap penyakit malaria. Saat ini tingkat kematian bayi hanya 2,3 persen per 1.000 kelahiran. Capaian tersebut jauh lebih rendah dari kematian bayi Perancis dan Inggris tahun 1960. Penulis adalah Pensiunan PNS Kementerian Sosial

Baca Juga: