Problematik pemilu lalu diprediksi bakal terulang pada tahun 2024, termasuk praktik politik uang seperti jual beli tiket pencalonan dan suara. Ini sangat berpotensi terjadi pada pemilu 2024.

JAKARTA - Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT) memang diperlukan, berapa persen pun. Hanya, andai PT nol persen, maka akan menyulitkan presiden terpilih. Pernyataan ini disampaikan ahli hukum tata Negara, Profesor Muhammad Fauzan, di Jakarta, Kamis (30/12).

"Jadi, andai presidential threshold nol persen, jelas akan menyulitkan presiden terpilih. Hal ini memungkinkan kandidat dicalonkan oleh parpol yang tidak punya suara dan tidak punya kursi di DPR," kata Fauzan. Kalau itu terjadi, dalam perjalanan akan menyulitkan presiden. Sebab presiden memerlukan bantuan suara di DPR untuk kebijakan-kebijakannya. Hal itu sulit terjadi kalau tidak ada koalisi di DPR untuk presiden.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman ini menjelaskan, presiden tetap memerlukan dukungan parlemen. Menurut dia, meski masyarakat mencintai calon presiden tertentu, dukungan partai politik dengan suara yang cukup di DPR tetap diperlukan.

"Jika tak dapat dukungan parlemen, nanti kebijakan presiden bisa diganggu anggota DPR karena parlemen mempunyai fungsi pengawasan," tandasnya. Kalau bicara lembaga politik, idealnya setiap pengawasan perlu menyamakan persepsi tentang kebijakan-kebijakan presiden.

Fauzan menilai, presidential threshold akan tetap ada. Namun dengan persentase yang lebih kecil sesuai dnega nkesepakatan DPR. Mau 20, 15, atau lima persen, tidak masalah. Itu pilihan. "Tetapi kalau sampe nol persen, saya pikir akan menyulitkan presiden terpilih," ujarnya.

Sebelumnya, sejumlah pihak kembali melakukan gugatan ke Mahkamah Konsitusi (MK) terkait presidential threshold agar ambang batas 20 persen menjadi nol persen jelang Pemilu 2024. Gugatan tersebut beberapa di antaranya dilakukan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan politisi Gerindra Ferry Juliantono.

Jual Beli

Sementara itu, anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, memperkirakan problematik pemilu sebelumnya bakal terulang tahun 2024. Ini termasuk praktik politik uang seperti jual beli tiket pencalonan (candidacy buying) dan jual beli suara (vote buying). Ini sangat berpotensi terjadi pada pemilu 2024.

"Hal serupa juga pada basa-basi laporan dana kampanye. Politik berbiaya tinggi yang tidak akuntabel, seperti kontestasi mahal, tetapi tidak tergambar dalam laporan dana kampanye," kata Titi Anggraini pada acara Refleksi Akhir Tahun 2021 "Dinamika Ketatanegaraan dan Kepemiluan Indonesia."

Acara diselenggarakan Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah dan Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Titi juga menyampaikan sejumlah problematik lainnya yang berpotensi terulang pada pemilu mendatang. Pemilu mendatang bersamaan pemilihan kepala daerah di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota.

Problem yang mungkin muncul seperti kemandirian penyelenggara pemilu, akurasi daftar pemilih tetap, dan netralitas aparatur sipil negara. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini lantas menyebutkan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait ambang batas pencalonan presiden. Problem lain, syarat calon perseorangan yang makin berat, hegemoni dewan pimpinan pusat dalam pencalonan pilkada dan ongkos politik yang makin mahal.

Di sisi lain, lanjut dia, disparitas yang makin senjang dan terbuka antara sikap pembuat undang-undang dan aspirasi publik terkait dengan pengaturan pemilu demokratis. Contoh, pembatalan revisi UU Pemilu dan pelanggengan ambang batas pencalonan presiden. Kendati demikian, dia menilai demokrasi elektoral secara prosedural makin baik.

Baca Juga: