Semua pihak harus sinergis membantu pemerintah menjalankan program pemulihan lingkungan untuk menurunkan gas rumah kaca.

JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya telah melaporkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait kepentingan pemerintah mengatur tentang Nilai Ekonomi Karbon/NEK (carbon pricing) dengan sebuah kebijakan. Pengaturan ini akan mendukung penanggulangan perubahan iklim yang dilakukan Indonesia bersama masyarakat dunia. Dalam kaitan ini Presiden Jokowi setuju segera diatur NEK.

"Dalam Ratas saya laporkan kepada Presiden Jokowi terkait perkembangan kerja sama Indonesia - Norwegia dalam menurunkan emisi karbon, serta pentingnya Indonesia memiliki aturan pemerintah yang mengatur tentang nilai ekonomi karbon," kata Menteri Siti dalam pernyataan tertulis, di Jakarta, Senin (6/7).

Indonesia, tambah Menteri Siti, berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen pada 2020 dan 29 persen pada 2030, yang kemudian ditingkatkan seusai ratifikasi Indonesia atas perjanjian Paris/Paris Agreement tahun 2015 menjadi 29 persen pada tahun 2030 dan 41 persen dengan dukungan kerja sama internasional, termasuk dengan skema REDD+ (Reduction Emission Deforestation and Degradation). Komitmen ini telah dicatatkan sebagai National Determination Contribution (NDC) Indonesia kepada dunia.

Landasan Kuat

Kebijakan pengaturan instrumen NEK, tambah Menteri Siti, akan menjadi landasan legal yang kuat dalam rangka mencapai target NDC Indonesia serta untuk mendukung pembangunan rendah karbon. Presiden Jokowi meminta agar Indonesia terus konsisten menjalankan program pemulihan lingkungan untuk menurunkan GRK, kemudian perlindungan gambut dan percepatan rehabilitasi hutan dan lahan serta perlindunganbiodiversityyang sudah melekat sebagai upaya perlindungan hutan dan pemulihan habitat harus dipastikan betul-betul jalan di lapangan.

Menteri Siti menjelaskan jika potensi karbon Indonesia sangat besar. Potensi tersebut jika dibarengi dengan ketersediaan landasan legal Indonesia menetapkan NEK, akan dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kebijakan pengaturan NEK ini diusulkan Menteri Siti berbentuk Perpres yang memuat pengaturan penyelenggaraan NEK, termasuk mekanisme perdagangan karbon (cap and trade dan carbon offset), Result Based Payment (RBP) dan Pajak atas karbon, serta upaya pencapaian target NDC (mitigasi dan adaptasi) yang terkait dengan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan pembentukan Instrumen Pengendalian dan Pengawasan (MRV, SRN, Sertifikasi). Jika Perpres ini disetujui, KLHK akan mampu menyusun roadmap ekonomi karbon untuk jangka panjang.

Sebagai gambaran, Menteri Siti menjelaskan jika saat ini luas tutupan hutan daratan Indonesia mencapai 94,1 juta ha, dengan luas tutupan dominan di Sumatera sebesar 13,5 juta ha, Kalimantan sebesar 26,7 juta ha, dan Papua sebesar 34 juta ha. Kawasan hidrologis gambut Indonesia pun sangat luas yaitu di Sumatera dan Riau seluas berturut-turut 9,60 juta ha dan 5,36 juta ha, di Kalimantan dan Kalteng berturut-turut seluas 8,40 juta ha dan 4,68 juta ha.

Untuk mangrove, tambah Menteri Siti, Indonesia punya potensi sangat besar, seperti di Sumatera luas mangrove 666,4 ribu ha, Kalimantan seluas 735,8 ribu ha, Jawa seluas 35,9 ribu ha, Sulawesi seluas 118,8 ribu ha, Maluku seluas 221,5 ribu ha, Papua seluas 1,49 juta ha, dan Bali Nusa Tenggara seluas 34,7 ribu ha. ν mar/N-3

Baca Juga: