» Perlu langkah antisipasi ancaman kelaparan global pada 2050 seperti diprediksi FAO.

» Penguatan industri pengolahan tidak boleh kendor karena kalah sengketa ekspor biji nikel di WTO.

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bangsa Indonesia harus memiliki strategi besar untuk menjadi kuat dan mandiri di tengah situasi dunia yang bergejolak saat ini.

Dalam arahannya secara daring seperti dipantau melalui kanal Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) di Jakarta, Selasa (29/11), Presiden kembali menegaskan kalau Indonesia sedang menghadapi situasi dunia yang tidak baik-baik saja.

"Untuk itu, kita harus punya strategi besar dengan menggunakan kekuatan yang kita miliki untuk makin kuat dan mandiri," kata Presiden.

Salah satu strategi yang harus yang harus diterapkan adalah meningkatkan penggunaan dan belanja produk-produk dalam negeri. Sebaliknya, penggunaan produk-produk impor harus makin kecil dan dihilangkan. Untuk itu, Jokowi memandang perlu ada terobosan-terobosan untuk meningkatkan penggunaan produk-produk dalam negeri.

"Saya ingatkan bahwa peningkatan target penggunaan produk dalam negeri harus diimbangi dengan upaya perbaikan ekosistem agar mampu memenuhi tuntutan kebutuhan di dalam negeri," kata Presiden.

Kepala Negara dalam kesempatan itu juga meminta perlu perbaikan besar-besaran dari hulu hingga hilir dengan memperbanyak produk dalam negeri yang memiliki sertifikat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) agar kualitas produk dalam negeri makin meningkat.

Dekan Fakultas Pertanian Univeristas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jaka Widada, mengatakan Presiden Jokowi di masa akhir pemerintahannya harus benar-benar meletakkan kemandirian sebagai jalan bangsa dan negara yang tegas dipilih untuk menghadapi tantangan ke depan.

Dia mengatakan masalah yang benar-benar akan terjadi melanda seluruh negara bahkan seluruh umat manusia yakni bencana kelaparan sebagaimana yang diprediksi organisasi pangan dunia, FAO, pada 2050 mendatang. Ancaman riil itu bukan hanya negara-negara tertentu, tetapi bagi dunia, termasuk Indonesia.

Hal itu dipicu salah satunya oleh pertambahan jumlah penduduk dunia yang akan mencapai angka sepuluh miliar di tahun tersebut.

"Jumlah penduduk dunia akan menembus sepuluh miliar, sehingga akan terjadi kelaparan luar biasa manakala produksi pangan tidak naik sebesar 70 persen dari sekarang. Ini bukan hal yang mudah karena dampak perubahan iklim juga sangat berpengaruh," kata Jaka, di Yogyakarta, Selasa (29/11).

Indonesia, kata Jaka, tidak boleh lagi mengandalkan kebutuhan pangan dari impor. Sebaliknya, masalah pangan harus tuntas dengan kemandirian nasional. Karena di hari depan saat kesulitan pangan terjadi setiap negara akan mengamankan kebutuhan negaranya sendiri.

Indonesia semestinya meniru tiga negara yang kini telah siap menghadapi ancaman krisis pangan, yakni Tiongkok, Israel, dan Belanda.

Tiongkok sudah sukses membuat benih padi yang produksinya dua kali lipat lebih banyak, sedangkan Belanda dan Israel telah mengimplementasikan teknologi yang mumpuni untuk meningkatkan produksi komoditas pertanian.

"Ethiopia dulu adalah negara dengan banyak penduduk kelaparan, sekarang setelah Israel masuk ke situ, mereka menjadi sumber pangan nomor tujuh di dunia karena teknologi dari Israel," paparnya.

Ancaman perubahan iklim dan krisis pangan, ujarnya, memang belum terlalu terlihat di Indonesia, karena ketersediaan sumber daya alam masih cukup melimpah dan kondisi geografis Indonesia yang memungkinkan produksi pertanian tetap berjalan sepanjang tahun.

Akibatnya, pemborosan atau penggunaan sumber daya secara kurang efisien masih terjadi dalam banyak aspek, termasuk di sektor pertanian. "Di Indonesia pemborosannya luar biasa karena merasa air tidak harus dibeli, tapi ke depan ancamannya akan luar biasa," kata Jaka.

Jangan Kendor

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan pemerintah perlu membuat strategi besar. Kekuatan Indonesia adalah penghasil komoditas primer, baik berupa bahan tambang, pertanian, kelautan baik dari sisi kualitas maupun kuantitas serta variasinya.

"Keunggulan ini harus ditingkatkan dengan meningkatkan nilai tambahnya," kata Suhartoko.

Penguatan industri pengolahan atau hilirisasi ini tidak boleh kendor karena kekalahan akibat sengketa ekspor bijih nikel di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), sebab apa pun alasannya, seperti apa pun tantangannya, komoditas primer harus diolah.

Baca Juga: