Kementerian dan lembaga sangat adiktif dengan batu bara, tidak bisa lepas dari oligarki.

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan para jajarannya untuk membentuk gugus tugas (task force) khusus guna menindaklanjuti kesepakatan multilateral dan bilateral yang dicapai selama rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, pertengahan November 2022.

"Ini betul-betul yang paling penting segera ditindaklanjuti dengan membentuk task force untuk menyelesaikan kesepakatan-kesepakatan," kata Presiden saat membuka rapat terbatas terkait evaluasi pelaksanaan KTT G20 di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (28/11).

Jokowi mengatakan dari pelaksanaan rangkaian KTT G20 berhasil dicapai kesepakatan multilateral sebanyak 226 proyek senilai 238 miliar dollar AS dan 140 proyek yang bersifat bilateral dengan nilai 71,4 miliar dollar AS.

"Ini harus dipastikan semua proyek, program, dan inisiatif segera dapat dieksekusi dengan cepat," kata Presiden.

Kepala Negara juga melihat saat acara Business 20 (B20) di sela-sela rangkaian KTT G20, banyak minat dan permintaan investasi ke Indonesia. Dia mengharapkan agar minat investasi delegasi G20 itu dapat diakomodasi dan terealisasi di Indonesia.

"Dari pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui skema Partnership for Global Infrastructure and Investment sebesar 600 miliar dollar AS ini seperti apa? Kemudian, 20 miliar dollar AS untuk pengembangan kendaraan listrik melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) ini seperti apa?" papar Jokowi.

Selain itu, terdapat juga komitmen investasi dari Jepang, Inggris, dan Republik Korea untuk proyek kereta MRT di Jakarta. Begitu pula kerja sama dengan Turki untuk pembangunan jalan Tol Trans Sumatera, dan lainnya.

"Saya lihat ini banyak sekali. Oleh sebab itu, perlu ada task force khusus, misalnya, yang Amerika siapa, yang UAE siapa, yang Korea siapa, yang Jepang siapa, yang Tiongkok siapa, sehingga semuanya bisa secara detail ditindaklanjuti apa yang jadi kesepakatan di Bali," harap Presiden.

Transisi Energi

Usai rapat terbatas, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengatakan kerja sama transisi energi sebesar 20 miliar dollar AS yang telah diumumkan dalam KTT G20, perlu ditindaklanjuti bersama melalui mekanisme platform transisi energi.

"Seperti diketahui bahwa di dalam G20 telah diumumkan mengenai adjust energy transition partnership itu sebesar 20 miliar dollar AS. Dalam hal ini perlu di-follow up bersama-sama dengan platform energy transition mechanism yang sekarang ini sudah mendapatkan komitmen 500 juta dollar AS dan bisa di-leverage ke empat miliar dollar AS," kata Menkeu seperti dikutip dari Antara.

Menkeu pun meminta PLN menindaklanjuti karena menyangkut transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan. "Nanti kami akan bicara dengan berbagai Independent Power Plant yang selama ini bekerja sama dengan PLN, dan bagaimana transisi energi yang perlu didukung dengan kebijakan termasuk insentif-insentif baik perpajakan maupun nonperpajakan," kata Menkeu.

Kerja sama transisi energi tersebut merupakan salah satu kesepakatan yang harus segera ditindaklanjuti karena nilainya cukup besar dan juga menjadi perhatian baik negara-negara G7, Republik Rakyat Tiongkok maupun negara-negara di Timur Tengah.

Pengamat energi dari Univeristas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhi, yang diminta pendapatnya mengatakan pengalaman dari beberapa komitmen dunia terkait transisi energi berjalan kurang bagus. Sejak Paris Agreement, begitu banyak kesepakatan yang tidak berjalan. Namun, hari ini dunia menghadapi situasi yang berbeda. Perubahan iklim dirasakan dampaknya secara langsung oleh penduduk negara maju. Dari banjir bandang di pusat-pusat kota dunia sampai cuaca panas melebihi pengalaman dalam beberapa dekade terakhir.

"Tuntutan pada transisi energi sudah tidak bisa ditunda lagi, sehingga sebenarnya ini memudahkan Indonesia, ada momentum bersama," kata Fahmi.

Sementara itu, Pengamat dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng, mengatakan semestinya harus ada langkah nyata dari KTT G20, tetapi saya perhatikan menteri malah belum ada agenda apa-apa, yang aktif tampaknya dua BUMN yaitu Pertamina dan PLN.

JETP sebetulnya sudah jelas, Indonesia yang memimpin, didukung AS, Inggris, dan Jepang, serta Bank Dunia dan ADB. "Ini memang besar, tetapi kelihatannya kementerian dan lembaga enggan menanggapi masalah ini. Dugaan saya memang kementerian dan lembaga di kita sangat adiktif dengan batu bara, tidak akan bisa lepas. Oligarki batu bara amat kuat di pemerintahan," tegasnya.

Secara terpisah, Peneliti Celios, Muhammad Akbar, menekankan pentingnya transparansi dalam proyek tersebut karena bentuk bantuannya pinjaman. Sebab itu, partisipasi publik harus menjadi prioritas. Begitu pula dalam program pensiun dini PLN, perlu diperhatikan valuasi pembangkit agar tidak dinilai terlalu tinggi. Dengan demikian, alokasi pembiayaan untuk kebutuhan pensiun dini PLTU dan investasi EBT berimbang.

Baca Juga: