Raja Salman mengundang Presiden Iran Ebrahim Raisi berkunjung ke Arab Saudi pasca rekonsiliasi kedua negara. Undangan disambut baik.

TEHERAN - Presiden Iran Ebrahim Raisi dengan senang hati menerima undangan Raja Salman dari Arab Saudi untuk mengunjungi kerajaan itu pasca rekonsiliasi kedua negara.

"Dalam sepucuk surat kepada Presiden Raisi … Raja Arab Saudi menyambut baik kesepakatan antara kedua negara bersaudara (dan) mengundangnya ke Riyadh," cuit Mohammad Jamshidi, wakil kepala staf presiden Iran untuk urusan politik. "Raisi menyambut baik undangan tersebut".

Dua kekuatan regional Timur Tengah itu mengumumkan kesepakatan yang dimediasi Tiongkok untuk memulihkan hubungan setelah tujuh tahun terputus pada 10 Maret lalu.

Riyadh memutuskan hubungan setelah pengunjuk rasa Iran menyerang perwakilan diplomatik Saudi pada 2016 menyusul eksekusi ulama Syiah Nimr al-Nimr oleh Saudi. Peristiwa tersebut salah satu dari serangkaian pemicu konflik dua rival lama di kawasan itu.

Kesepakatan itu diperkirakan akan membuat Iran yang mayoritas Syiah dan sebagian besar Muslim Sunni Arab Saudi membuka kembali kedutaan dan misi mereka dalam waktu dua bulan dan menerapkan kesepakatan kerja sama keamanan dan ekonomi yang ditandatangani lebih dari 20 tahun lalu.

Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian mengatakan kepada wartawan pada Minggu (19/3) bahwa kedua negara sepakat untuk mengadakan pertemuan antara diplomat tinggi.

Tiga lokasi pembicaraan telah diusulkan, tambahnya tanpa menyebutkan tempatnya.

Al Jazeera melaporkan, Amir-Abdollahian menekankan "kedua negara bertukar tim teknis untuk memeriksa kedutaan di Teheran dan Riyadh dan melihat apakah mereka siap untuk perwakilan ditempatkan di sana".

"Orang Iran menyarankan tiga lokasi pertemuan.Pertukaran terjadi sekarang melalui kedutaan Swiss, dan bukan Tiongkok.Ini menunjukkan, ada beberapa saluran antara Iran dan Saudi saat ini," kata Hashem.

Pemulihan hubungan Arab Saudi, pengekspor minyak terbesar dunia, dan Iran, yang berselisih dengan pemerintah Barat atas kegiatan nuklirnya, berpotensi membentuk kembali hubungan di seluruh wilayah yang mengalami pergolakan selama beberapa dekade itu.

Iran dan Arab Saudi mendukung pihak-pihak yang bersaing di beberapa zona konflik, termasuk Yaman, di mana pemberontak Houthi bersekutu dengan Teheran dan koalisi militer yang mendukung pemerintah dipimpin Riyadh.

Kedua belah pihak juga bersaing mendapatkan pengaruh di Suriah, Lebanon, dan Irak.

Sejumlah negara Teluk mengikuti tindakan Riyadh pada 2016 dan mengurangi hubungan dengan Teheran, meskipun Uni Emirat Arab (UEA) dan Kuwait baru-baru ini memulihkan hubungan.

Menlu Iran mengatakan, negaranya juga berharap langkah-langkah akan dilakukan untuk menormalisasi hubungannya dengan Bahrain, sekutu dekat Saudi yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran pada 2016.

Di masa lalu, Bahrain menuduh Iran telah melatih dan mendukung pemberontakan yang dipimpin Syiah di kerajaan yang dikuasai Sunni untuk menggulingkan pemerintah Manama.Namun Teheran menyangkal.

"Kesepakatan telah dicapai dua bulan lalu bagi delegasi teknis Iran dan Bahrain untuk mengunjungi kedutaan kedua negara.Kami berharap beberapa hambatan antara Iran dan Bahrain akan dihilangkan dan kami akan mengambil langkah dasar untuk membuka kembali kedutaan," kata Amir-Abdollahian.

Tidak ada komentar langsung dari Manama.

Bahrain, bersama dengan negara-negara Teluk Arab lainnya, menyambut baik rekonsiliasi Riyadh dan Teheran.

Pada September, Iran menyambut duta besar Emirat setelah enam tahun absen, dan sebulan sebelumnya mengatakan Kuwait telah mengirim duta besar pertamanya ke Teheran sejak 2016.

Pejabat tinggi keamanan Iran Ali Shamkhani juga mengadakan pembicaraan dengan Presiden UEA Mohammed bin Zayed Al Nahyan di Abu Dhabi pada Kamis sebagai tanda lain dari pergeseran hubungan di wilayah tersebut.

Baca Juga: