QUITO - Dengan sebagian besar jalan-jalan kota sepi karena pengerahan militer besar-besaran, Ekuador, pada Rabu (10/1), mengumumkan berada dalam keadaan perang dengan kartel narkoba yang melancarkan kampanye brutal berupa penculikan dan penyerangan sebagai respons terhadap tindakan keras pemerintah.

Dikutip dari The Straits Times, ratusan tentara berpatroli di Ibu Kota Quito, di mana warga dicekam ketakutan atas gelombang kekerasan yang memicu kekhawatiran di luar negeri.

Negara kecil di Amerika Selatan ini telah terjerumus ke dalam krisis setelah bertahun-tahun meningkatnya kontrol oleh kartel transnasional yang menggunakan pelabuhannya untuk mengirimkan kokain ke Amerika Serikat dan Eropa.

Ledakan kekerasan terbaru dipicu setelah salah satu kepala kartel paling berkuasa di negara itu, Jose Adolfo Macias, yang dikenal dengan nama samaran "Fito", melarikan diri dari penjara pada tanggal 7 Januari.

Keesokan harinya, Presiden Daniel Noboa memberlakukan keadaan darurat dan jam malam, namun geng-geng tersebut membalas dengan deklarasi "perang" mengancam akan mengeksekusi warga sipil dan pasukan keamanan.

Mereka juga telah memicu sejumlah kerusuhan di penjara, memicu ledakan di tempat-tempat umum, dan melancarkan serangan yang menewaskan sedikitnya 14 orang. "Lebih dari 100 penjaga penjara dan staf administrasi disandera," kata otoritas penjara.

Di kota pelabuhan barat Guayaquil, para penyerang yang mengenakan balaclava (penutup kepala) menyerbu sebuah stasiun televisi milik negara pada tanggal 9 Januari, menyandera beberapa jurnalis dan staf dan melepaskan tembakan dalam siaran langsung sebelum polisi tiba.

Masyarakat Panik

Media lokal melaporkan beberapa penyerang masih berusia 16 tahun. Serangan ini, khususnya, menimbulkan kepanikan di masyarakat umum, banyak dari mereka meninggalkan pekerjaan dan menutup toko untuk pulang ke rumah.

"Hari ini kami tidak aman, apa pun bisa terjadi," kata Luis Chiligano, seorang penjaga keamanan berusia 53 tahun di Quito, yang menjelaskan ia memilih untuk bersembunyi daripada menghadapi para penjahat, yang memiliki persenjataan lebih baik.

"Ada ketakutan, Anda harus berhati-hati, melihat ke sana-sini, jika Anda naik bus ini, apa yang akan terjadi," kata seorang wanita berusia 68 tahun, di tempat lain di ibu kota.

Noboa mengatakan pada 10 Januari negaranya sekarang berada dalam keadaan perang, dan bersumpah untuk tidak menyerah pada geng tersebut.

Presiden berusia 36 tahun, yang menjabat kurang dari dua bulan, telah memberikan perintah untuk menetralisir kelompok kriminal, yang keanggotaannya diperkirakan berjumlah sekitar 20.000 orang.

"Kita berada dalam keadaan perang dan kita tidak boleh menyerah terhadap kelompok-kelompok teroris ini," katanya kepada Radio Canela pada 10 Januari, dan berjanji untuk tanpa henti menghadapi organisasi-organisasi teroris ini.

"Pemerintah mengambil tindakan yang diperlukan yang dalam beberapa tahun terakhir tidak ingin dilakukan oleh siapa pun," ujarnya.

"Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengaku sangat khawatir dengan memburuknya situasi di negara itu serta dampaknya yang mengganggu kehidupan warga Ekuador," kata juru bicaranya, Stephane Dujarric.

Diplomat utama AS untuk Amerika Latin, Brian Nichols, mengatakan Washington sangat prihatin, berjanji untuk memberikan bantuan dan tetap berhubungan erat dengan tim Noboa.

Kedutaan dan konsulat Tiongkok di Ekuador menangguhkan layanan kepada masyarakat, sementara Prancis dan Russia menyarankan warganya untuk tidak melakukan perjalanan ke negara tersebut.

Peru mengumumkan keadaan darurat di perbatasannya dengan Ekuador, dan mengirimkan 500 petugas polisi dan tentara tambahan untuk mengamankan perbatasan. Tentara Kolombia juga mengumumkan pihaknya memperkuat keamanan perbatasan.

Geografi dan korupsi merupakan salah satu alasan mengapa negara yang tadinya damai ini berubah menjadi pusat kejahatan terorganisir transnasional. Ekuador berbatasan dengan dua produsen kokain terbesar di dunia, Kolombia dan Peru.

Baca Juga: