PARIS - Prancis pada Rabu (15/11) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan internasional terhadap presiden Suriah, Bashar al-Assad, dan tiga orang lainnya atas penggunaan senjata kimia terlarang terhadap warga sipil di Suriah.

Menurut sumber peradilan dan pengacara yang mewakili para korban, surat perintah penangkapan tersebut mendakwa Presiden Suriah Bashar al-Assad, saudaranya Maher, pejabat militet Jenderal Ghassan Abbas dan Bassam al-Hassan terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.

"Maher al-Assad memimpin unit elit militer Suriah, Divisi Lapis Baja ke-4, sementara dua jenderal militer, Ghassan Abbas dan Bassam al-Hassan, bekerja dengan lembaga penelitian Suriah yang dituduh mengembangkan senjata kimia," kata kelompok hak asasi manusia, Pembela Hak Sipil.

Dikutip dari Al Jazeera,
Surat perintah tersebut dikeluarkan menyusul penyelidikan kriminal atas serangan kimia di kota Douma dan distrik Ghouta Timur pada Agustus 2013, yang menewaskan lebih dari 1.000 orang.

Ini adalah surat perintah penangkapan internasional pertama yang dikeluarkan untuk kepala negara Suriah, yang pasukannya menanggapi protes yang dimulai pada tahun 2011 dengan tindakan keras brutal yang menurut para ahli PBB merupakan kejahatan perang.

"Ini juga merupakan surat perintah penangkapan internasional pertama yang dikeluarkan terkait serangan senjata kimia di Ghouta," kata Mazen Darwish, pengacara dan pendiri Pusat Media dan Kebebasan Berekspresi Suriah (SCM), yang mengajukan kasus tersebut di Prancis.

Perancis mengklaim yurisdiksi di seluruh dunia atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Suriah membantah menggunakan senjata kimia, namun penyelidikan gabungan sebelumnya antara PBB dan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia menemukan bahwa pemerintah Suriah menggunakan agen saraf sarin dalam serangan pada April 2017 dan telah berulang kali menggunakan klorin sebagai senjata.

Langkah menuju keadilan

Darwish mengatakan, keputusan tersebut merupakan kemenangan bagi para korban, keluarga mereka, dan orang-orang yang selamat dari serangan kimia tahun 2013, dan sebuah langkah menuju "keadilan dan perdamaian berkelanjutan di Suriah".

"Ini merupakan perkembangan yang sangat besar, Yurisdiksi independen mengakui bahwa serangan kimia tidak mungkin terjadi tanpa sepengetahuan presiden Suriah, bahwa ia mempunyai tanggung jawab dan harus bertanggung jawab," kata Darwish.

Menurutnya, kasus terhadap al-Assad dan para pejabat tinggi militer didukung oleh kesaksian langsung dan analisis mendalam terhadap rantai komando militer Suriah.


Para aktivis pada tahun 2013 mengunggah video amatir di YouTube yang menunjukkan dampak serangan tersebut, termasuk rekaman puluhan mayat, banyak di antaranya anak-anak, tergeletak di tanah.

Gambar lain menunjukkan anak-anak yang tidak sadarkan diri, mulut orang-orang berbusa, dan dokter tampaknya memberi mereka oksigen untuk membantu mereka bernapas. Adegan tersebut memicu rasa protes di seluruh dunia.

Sebuah laporan PBB kemudian menyatakan ada bukti jelas penggunaan gas sarin, agen saraf yang mematikan.

Suriah setuju pada tahun 2013 untuk bergabung dengan pengawas global Organisasi Pelarangan Senjata Kimia atau Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) dan menyerahkan semua senjata kimia.

OPCW sejak itu menyalahkan Damaskus atas serangkaian serangan kimia selama perang saudara. Pemerintah Suriah membantah tuduhan tersebut.

Perang saudara di Suriah pecah pada tahun 2011 setelah penindasan al-Assad terhadap demonstrasi damai yang meningkat menjadi konflik mematikan yang menarik kekuatan asing.

Perang ini telah menewaskan lebih dari setengah juta orang dan membuat separuh populasi negara itu mengungsi sebelum perang.

Baca Juga: