Swasembada pangan dan energi dalam 4-5 tahun ke depan adalah tujuan yang realistis, asalkan didukung dengan kebijakan yang tepat.
JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik sebagai pemimpin Indonesia pada periode 2024- 2029. Dalam pidato pertamanya di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Minggu (20/10), Presiden Prabowo mengatakan banyaknya tantangan yang dihadapi Indonesia dalam membangun bangsa dan masyarakat salah satunya karena kurang andal dalam mengurus kekayaan bangsa.
Beberapa tantangan yang harus diselesaikan saat ini, antara lain pemberantasan kemiskinan, kebocoran anggaran, korupsi, kebergantungan pada impor pangan dan energi, serta ketimpangan kesejahteraan masyarakat.
Saya telah mencanangkan bahwa Indonesia harus segera swasembada pangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kita tidak boleh bergantung dari sumber makanan dari luar," tegas Prabowo. Apalagi, dalam situasi krisis global, negara-negara lain akan mengutamakan kepentingan domestiknya. Untuk itu, Indonesia harus mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan nasional secara mandiri. "Saya sudah mempelajari bersama pakar-pakar yang membantu saya, saya yakin paling lambat 4-5 tahun kita akan swasembada pangan.
Bahkan, kita siap menjadi lumbung pangan dunia," kata Presiden. Selain ketahanan pangan, Presiden Prabowo Subianto juga menekankan pentingnya mencapai swasembada energi. Ia mengingatkan bahwa kebergantungan pada sumber energi luar negeri menjadi ancaman serius di tengah ketegangan geopolitik global. "Kalau terjadi hal yang tidak kita inginkan, kita akan sulit mendapat sumber energi dari negara lain. Oleh karena itu, kita harus swasembada energi dan kita mampu untuk swasembada energi," kata Kepala Negara.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan pentingnya menjaga kedaulatan Indonesia di berbagai sektor, termasuk pangan dan energi. Komitmen Presiden Prabowo untuk mencapai swasembada pangan dan energi dipandang sebagai langkah strategis yang tidak hanya meningkatkan kemandirian bangsa, tetapi juga melindungi Indonesia dari kebergantungan pada pihak luar. Hal itu penting di tengah ketidakpastian global yang semakin besar, termasuk tantangan perubahan iklim dan volatilitas harga pangan di pasar internasional.
"Kami berharap pula agar pengelolaan sumber daya alam, investasi, dan kerja sama dengan pihak luar tetap bertumpu di atas prinsip Indonesia berdaulat. Seluruh penjuru Tanah Air dan rakyat Indonesia benar-benar harus dilindungi dari segala bentuk intervensi dan praktik neokolonialisme yang merugikan masa depan Indonesia," tegas Haedar. Secara terpisah, Guru Besar Fakultas Pertanian Univeristas Gadjah Mada, Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan upaya mencapai swasembada pangan dalam 4-5 tahun ke depan adalah tujuan yang realistis, asalkan didukung dengan kebijakan yang tepat.
Ia menekankan bahwa perbaikan sarana dan prasarana, terutama jaringan irigasi, serta penyediaan pupuk yang memadai dan tepat waktu merupakan faktor utama yang perlu diperhatikan. Dwijono menggarisbawahi bahwa pencapaian swasembada pangan memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, akademisi, dan petani.
Kedaulatan Pangan
Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Rizal Edi Halim, menegaskan bahwa masyarakat Indonesia menaruh harapan besar pada komitmen Prabowo soal kedaulatan pangan melalui berbagai program kerja yang sudah disampaikan. "Kita sangat berharap kampanye swasembada pangan ini bisa dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sehingga kebergantungan terhadap pangan impor itu bisa kita reduksi," tegas Rizal.
Rakyat sangat mengharapkan swasembada, kemandirian, dan kedaulatan pangan nasional bisa kita wujudkan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo. Berkaitan dengan swasembada energi, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan swasembada energi merupakan salah satu Asta Cita Prabowo-Gibran. Ini cita-cita yang sudah disampaikan oleh kandidat-kandidat Presiden sebelumnya.
"Ini tujuan yang mulia dan sebagai negara ekonomi besar dengan populasi besar, serta kondisi geopolitik dunia yang semakin tidak stabil, Indonesia harus dapat mengamankan pasokan energi jangka pendek dan panjang," jelas Fabby. Ketika pemimpin berbicara mengenai swasembada energi lazimnya mengacu pada kebergantungan dan beban akibat impor minyak mentah dan BBM. Oleh karena itu, sudah saatnya mengembangkan bahan bakar substitusi khususnya yang ramah lingkungan yakni energi baru terbarukan. "Konsep swasembada energi perlu diperluas karena cadangan energi fosil kita sudah semakin berkurang dan akan habis dalam 5-15 tahun ke depan," kata Fabby.
Selain itu, pemanfaatan energi fosil semakin terbatas karena dampaknya terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. "Swasembada energi harus diupayakan melalui pemanfaatan sumber daya energi terbarukan yang dimiliki Indonesia secara cepat, termasuk energi matahari atau tenaga surya yang kapasitasnya sangat besar," kata Fabby.
Pakar pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Suprayogi pekan lalu mengatakan di tengah ancaman krisis global saat ini, sudah waktunya Indonesia tidak lagi mengandalkan impor pangan. "Andaikan punya uang pun, Indonesia belum tentu bisa impor karena tantangan politik dalam negeri juga cukup besar. Impor pun tidak mudah karena meskipun punya devisa, negara lain belum tentu mau menjual komoditas pangan tersebut karena lebih memikirkan ketahanan pangan di negaranya," jelas Suprayogi.