Mobilitas warga yang meningkat menjelang Natal dan Tahun Baru menjadi tantangan untuk menekan Covid-19.

JAKARTA - Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) saat ini dinilai masih diperlukan. PPKM merupakan payung kebijakan untuk intervensi penanganan Covid-19 seperti protokol kesehatan (prokes) dan vaksinasi.

"PPKM masih penting dan perlu sebagai pengatur rambu-rambu," ujar Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, kepada Koran Jakarta, Jumat (23/12).

Dicky menyebut pencabutan PPKM dalam waktu dekat belum tepat. Indonesia harus melihat situasi global yang mana Tiongkok kini tengah mengalami krisis varian baru. "Ini berdampak serius secara wilayah, termasuk ke Indonesia dengan lahirnya varian atau subvarian baru," jelasnya.

Dicky mengungkapkan, pencabutan PPKM bisa dilakukan jika vaksinasi sudah memenuhi standar WHO. Adapun saat ini, untuk cakupan vaksinasi lengkap belum mencapai 90 persen, vaksin booster masih di bawah 25 persen, booster kedua masih di bawah 1 persen.

Di sisi lain, ada kelompok usia yang belum mendapat vaksinasi seperti anak-anak. Menurutnya, pencabutan PPKM menempatkan masyarakat dalam situasi berisiko. "Ini berarti kita menempatkan populasi dalam risiko. Modalitas imunitas penting. Kita harus lihat kekurangan kita untuk anak belum vaksinasi. Ini harus jadi pertimbangan," terangnya.

Prokes Belum Maksimal

Dia juga menyebut, kesadaran masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan masih belum maksimal. Adapun secara mobilitas juga menjadi tantangan di mana masyarakat akan menghadapi periode Natal dan Tahun Baru.

"Dalam konteks nasional, selain kita akan menghadapi Natal dan Tahun Baru, di mana aktivitas 40 juta masyarakat akan berpergian dan akan punya risiko. Kalau PPKM mau dicabut, selain harus dikejar vaksinasi dan booster melewati Natal dan Tahun Baru serta lihat situasi global," tandasnya.

Secara khusus Dicky mengimbau pemerintah Indonesia untuk tidak abai terhadap situasi di Tiongkok dan salah dalam menerapkan kebijakan pengetatan menghadapi pandemi Covid-19.

"Apakah kondisi di Tiongkok berpotensi memberikan dampak secara global? Iya, saya mengingatkan kalau situasi di Tiongkok gagal diantisipasi atau dimitigasi, artinya dunia gagal menolong Tiongkok dan dunia akan juga menghadapi konsekuensi yang sangat buruk," kata Dicky.

Ia menyatakan dalam diskusi keamanan dan ketahanan kesehatan global yang diikutinya, sekitar 164 juta orang di Tiongkok diketahui mengalami diabetes sebagai salah satu faktor risiko infeksi Covid-19 yang buruk.

Kemudian, sekitar 8 juta orang berusia 80 tahun ke atas yang belum pernah divaksinasi. Akibatnya, tambah dia, angka kematian di Tiongkok diprediksi bisa mencapai 1,5 juta dalam satu waktu. Tingkat kekebalan yang diinduksi hingga kampanye vaksinasi November 2022 tidak cukup untuk mencegah gelombang Omicron.

Dampaknya, tambah dia, fasilitas kesehatan mendapat beban besar termasuk permintaan puncak unit perawatan intensif (ICU) yang diproyeksikan sebesar 15,6 kali kapasitas yang ada dan berpotensi menyebabkan sekitar 1,55 juta kematian.

Berbagai layanan kesehatan lumpuh dan membuka potensi munculnya sub varian baru yang lebih mematikan dan kebal terhadap antibodi. Apalagi Tiongkok mengandalkan produksi vaksin produksi lokal yang masih dipertanyakan persentase efikasinya, dibandingkan dengan buatan barat.

Seperti dikutip dari Antara, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 melaporkan jumlah pasien sembuh dari Covid-19 per tanggal 23 Desember 2022 mengalami kenaikan 2.812 orang menjadi 6.533.088 orang hingga pukul 12.00 WIB.

Baca Juga: