Kemendikbudristek menilai PPDB menggunakan nilai tetap akan menimbulkan kecurangan. Selain itu, PPDB dengan menilai hanya menguntungkan anak-anak pintar sehingga siswa kurang pintar sulit mengakses sekolah.

Kemendikbudristek menilai PPDB menggunakan nilai tetap akan menimbulkan kecurangan. Selain itu, PPDB dengan menilai hanya menguntungkan anak-anak pintar sehingga siswa kurang pintar sulit mengakses sekolah.

JAKARTA - Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Chatarina Muliana Girsang, menilai jika Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kembali menggunakan nilai, kecurangan akan tetap terjadi.

Di sisi lain, sistem tersebut tidak bisa digunakan karena instrumen untuk penilaian seperti Ujian Nasional (UN) sudah tidak ada.

"Apakah nilai ini memang fair atau tidak, permasalahan kan begitukan. Jadi kalau nilai itu kan bisa jadi juga titipan. Zaman rayonisasi kan ada jual beli bangku kan," ujar Chatarina, di Jakarta, Kamis (27/6).

Dia menambahkan, PPDB menggunakan nilai akan menguntungkan anak-anak pintar saja, sehingga siswa yang kurang secara nilai akan kesulitan mengakses sekolah. Padahal, fungsi sekolah adalah mencerdaskan siswanya.

"Kalau dia jadi pintar dulu baru sekolah terus fungsi sekolah apa? Jadi kita berharap sekolah bisa membuat anak-anak menjadi pandai, menjadi pintar. Itu fungsi sekolah yang kita harus kawal," jelasnya.

Jumlah Sekolah

Chatarina mengungkapkan, permasalahan klasik PPDB jalur zonasi adalah masih kurangnya jumlah sekolah. Meski demikian, kebijakan zonasi juga menjadi pengingat Pemerintah Daerah untuk menambah jumlah sekolah.

Dia menambahkan, skema kerja sama dengan sekolah swasta bisa dilakukam dengan bantuan biaya dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Hal ini untuk mencegah adanya ketidakadilan bagi sekolah swasta atas kebijakan zonasi.

"Oleh karena itu perlibatan sekolah swasta itu menjadi salah satu hal yang kami atur juga.

Tapi kalau untuk menambah sekolah memungkinkan dan jumlah sekolah swasta masih kurang, maka silakan menambah sekolah," katanya.

Chatarina menyatakan, kebijakan zonasi bertujuan untuk mencegah adanya anak yang tidak sekolah. Dengan demikian, penting menambah jumlah bangku baik dengan skema pembangunan maupun kolaborasi bersama swasta jika di suatu daerah kekurangan.

"Jadi memang sebenarnya kebijakan ini memberikan kemungkinan anak-anak yang berprestasi bisa masuk lebih dalam satu zonasinya, tapi kebijakan ini juga tujuannya sekali lagi mendekatkan anak kepada sekolah," ucapnya.

Dia menyebut, permasalahan PPDB bukan pada regulasi, tapi pada implementasi. Pihaknya juga sudah memitigasi terjadinya masalah PPDB dengan sosialisai serta pengawalan regulasi.

"Untuk implementasi, maka satu-satunya cara untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi adalah pengawalan," tuturnya.

Sub Koordinator Data, Monitoring, dan Evaluasi Bagian Perencanaan, Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengembangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Benjamin Sibarani, memastikan pihaknya mendorong pemerintah daerah menggratiskan sekolah di swasta. Menurutnya, hal tersebut jadi bentuk pelayanan yang baik terhadap sekolah swasta.

"Berbasis data ini adalah kunci bagaimana kita bisa menyiapkan slot berapa kebutuhan untuk SD, berapa kebutuhan untuk SMP, berapa kebutuhan untuk SMA," terangnya. ruf/S-2

Baca Juga: