JAKARTA - Pemerintah memperingatkan potensi resesi global akan memengaruhi harga minyak dan komoditas lainnya pada 2023. Meski demikian, pemerintah optimistis pemulihan ekonomi nasional tetap kuat.

"Amerika dan Eropa jelas akan menghadapi potensi resesi yang sangat tinggi, mengapa? Karena inflasi mereka sangat tinggi, 40 tahun tertinggi dan saat ini direspons dengan kenaikan suku bunga acuan dan pengetatan likuiditas," kata Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu (7/9).

Pada awalnya, bank-bank sentral di Amerika dan Eropa masih menganggap inflasi tersebut bersifat temporer karena disrupsi akibat pandemi Covid-19. Namun, saat perang Russia dan Ukraina mulai muncul, minyak bahkan kini dijadikan alat untuk salah satu instrumen perang.

Maka dari itu, Sri Mulyani melihat jika berbagai negara maju masuk ke dalam jurang resesi, permintaan terhadap minyak menjadi turun dan tekanan kenaikan harga minyak diharapkan ikut menurun, sehingga tak lagi mencapai di atas 100 dollar AS per barel.

Saat ini, harga minyak mulai turun menjadi dalam kisaran 94 dollar AS per barel, setelah sempat melambung di level 126 dollar AS per barel.

Selain potensi resesi, Sri Mulyani menyebutkan faktor lainnya yang akan memengaruhi harga minyak dan komoditas dunia adalah seberapa lama perang Russia dan Ukraina berlangsung. "Selama terjadi perang, berarti akan terus ada disrupsi suplai karena Russia itu diembargo. Kemarin, kita juga mendengar bahwa Amerika Serikat akan mencoba membuat price gap untuk minyak Russia yang sekarang sudah diadopsi negara-negara G7," tuturnya.

Karena itu, Bendahara Negara tersebut menilai harga minyak dunia masih akan tidak pasti ke depannya dengan berbagai faktor tersebut dan tentunya akan memengaruhi APBN.

Pengelolaan Anggaran

Lebih lanjut, Menkeu menegaskan defisit APBN akan tetap diarahkan untuk turun ke bawah level tiga persen PDB pada 2023 atau ditargetkan sebesar 2,85 persen produk domestik bruto (PDB). Karena itu, pemerintah terus berhati-hati menggunakan instrumen defisit anggaran secara cermat dan bijaksana agar tidak menimbulkan gejolak.

Pada 2023, Menkeu membeberkan belanja negara tak akan sebesar 2021 dan 2022, yang masih terdapat banyak alokasi untuk penanganan Covid-19 seperti tagihan rumah sakit dan insentif kesehatan, sehingga akan mendukung konsolidasi defisit APBN.

Dalam postur RAPBN 2023, belanja negara dialokasikan sebesar 3.041,7 triliun rupiah atau turun dari 2022 yang 3.106,4 triliun rupiah.

Selain itu, dia menyebutkan pada tahun depan subsidi energi juga akan berkurang dari 500 triliun rupiah pada tahun ini menjadi sekitar 340 triliun rupiah.

Belanja pembangunan infrastruktur pada tahun depan pun hanya akan diberikan pada infrastruktur yang akan bisa diselesaikan pada 2003 dan awal 2024, sehingga tentunya akan berkurang dari tahun ini.

Baca Juga: