JAKARTA - Pengamat Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai penerimaan negara dari penerapan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP mencapai 137,55 triliun rupiah per tahun.

"UU HPP ini dari beberapa ketentuan mampu menghasilkan penerimaan sebesar 137,55 triliun rupiah atau 0,77 persen dari PDB, ini dari beberapa ketentuan saja," kata Fajry saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Badan Anggaran DPR RI yang disiarkan secara daring, Rabu (16/2).

Fajry menyampaikan tidak semua klaster di UU HPP berdampak positif bagi penerimaan negara karena bergantung pada masa berlaku serta aturan turunan, seperti kenaikan tarif PPN yang tidak membutuhkan aturan turunan dan akan langsung terdampak pada penerimaan negara. Sedangkan pungutan pajak karbon membutuhkan aturan turunan dan teknis administrasi untuk dapat menghasilkan penerimaan negara.

"Dari beberapa ketentuan lain kami tidak bisa kuantifikasi potensinya karena tidak ada aturan turunan yang dikeluarkan pemerintah atau tidak ada data di tingkat mikro," ujar Fajry.

Lembaga lain, lanjutnya, seperti Bank Dunia memproyeksikan penerimaan dari UU HPP yang mulai berlaku pada 2022, setiap tahun akan menghasilkan penerimaan sebanyak 0,7-1,2 persen dari PDB. Dia menjelaskan reformasi perpajakan tidak selalu soal meningkatkan penerimaan negara, pajak dapat berfungsi sebagai refulerend, seperti untuk mengurangi ketimpangan.

Menurutnya, UU HPP juga memberikan keadilan bagi Wajib Pajak, meningkatkan kepatuhan dan mengurangi ketimpangan. "Konsekuensinya, tidak semua klausal dalam UU berdampak positif bagi penerimaan negara," tuturnya.

Dampak Negatif

Menurut CITA, beberapa klaster yang berdampak negatif bagi penerimaan negara adalah batas peredaran bruto dari klaster PPh dan besaran sanksi yang turun dari klaster KUP. Sedangkan perubahan tarif PPh Badan, ekstensifikasi BKC, NIK sebagai NPWP, mutual agreement procedure dan kuasa wajib pajak bersifat netral terhadap penerimaan negara dan sisanya berdampak positif.

Untuk kinerja penerimaan pajak, CITA menilai pada 2021 sebagai sebuah prestasi karena setelah 12 tahun penerimaan pajak akhirnya sesuai target dan bahkan lebih baik dibandingkan 2008 yang saat itu disokong program Sunpol.

Baca Juga: