» Kalau BI terus pertahankan suku bunga rendah yang artifisial, bisa menghancurkan ekonomi nasional.

» OJK, BI, dan Kemenkeu terlalu menganakemaskan perbankan dengan berbagai regulasi.

JAKARTA - Porsi penyaluran kredit perbankan ke segmen Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) seharusnya ditingkatkan. Data menunjukkan kontribusi UMKM pada 2022 lalu berkisar 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menyerap 97 persen dari total tenaga kerja.

Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Awan Santosa, mengatakan idealnya ratio penyaluran kredit untuk UMKM seharusnya sekitar 60 persen. "Itu penting supaya menstimulus perekonomian lebih maksimal lagi dan sepadan dengan kontribusinya terhadap perekonomian terutama dalam menciptakan dan memperluas lapangan kerja," kata Awan.

Diminta terpisah, Peneliti Pusat Riset dan Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana - Bengkayang Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, mengatakan hal yang membuat bank kurang berpihak pada UMKM karena regulator baik itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI) maupun Kementerian Keuangan terlalu menganakemaskan perbankan dengan berbagai regulasi.

"Perbankan itu selalu jadi penyebab kehancuran ekonomi, tapi BI dan Kemenkeu selalu menganakemaskan mereka. Ini sistem yang banyak merusak daripada membangun. Dana yang dihimpun diintermediasikan untuk spekulasi di sektor properti yang membuat harganya naik gila-gilaan, begitu juga kredit konsumtif," kata Siprianus.

Jika benar-benar dibuka, beberapa debitur besar di bank itu melanggar Batas Maksimum Penyaluran Kredit (BMPK), namun dilakukan segala macam rekayasa agar tidak terlacak. Kalau kreditnya macet, akan ditutup dengan plafondering, dengan segala cara ditutup dari utang di atas utang. "Kalau tidak diatasi, bank sekelas Credit Suisse saja bisa kolaps, apalagi perbankan di Indonesia. Pemerintah Swiss sekarang lagi cari manajemen untuk diminta bertanggung jawab," katanya.

Agar perbankan nasional tangguh maka seharusnya mereka digiring untuk membiayai ekonomi kerakyatan dengan mewajibkan mereka melalui regulasi sebagai payung hukum. "Kalau kekayaan alam saja dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat apalagi dana mereka sendiri. Sangat tidak masuk akal di Jakarta dan sekitarnya berdiri 100 mal, itu semua dibiayai dari kredit bank. Sementara rakyatnya miskin, bahkan untuk sekadar makan siang saja tidak mampu," katanya.

"Hard Landing"

Dengan mengacu pada peringatan IMF bahwa ekonomi dunia berpotensi hard landing jika inflasi global tetap tinggi, sehingga bank sentral global terus menaikkan suku bunga, maka BI seharusnya juga mengambil langkah antisipasi dengan menaikkan suku bunga acuan.

"Kalau BI terus pertahankan suku bunga rendah yang artifisial, bisa menghancurkan ekonomi nasional. Bisa-bisa kita jadi pasien IMF lagi. Jangan sampai itu terjadi karena resep IMF itu lebih mematikan. Dan kalau inflasi global sulit dikendalikan maka bunga akan terus naik. Kalau global naik, apa BI bisa menahan. Kalau tidak mampu meredam dan sudah naik ke level 12 persen maka keputusan menaikkan suku bunga sudah terlambat seperti yang terjadi di beberapa negara Afrika, Amerika Latin, dan Turki," katanya.

Makanya, bank itu harus menambah porsi kredit ke UMKM sebagai salah satu wujud dari pengamalan Pancasila terutama sila kelima tentang Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Jangan malah cari untung terus, lalu bagi dividen ke debitur BLBI. Ini kan di luar akal sehat. Ini didiamkan dari atas sampai bawah dan difasilitasi. Apa yang disampaikan Menko Polhukam, Mahfud MD, benar, jangan terus memiskinkan rakyat, sampai kapan mereka bisa bertahan. Romo Magnis juga mengatakan idiologi Pancasila tidak akan hidup kalau tidak dilaksanakan secara konsekuen," katanya.

Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho, mengatakan ekonomi dunia saat ini menghadapi tekanan dengan inflasi tinggi yang memaksa the Fed terus menaikkan suku bunganya. Hal yang menjadi pertanyaan bersama bagaimana dengan perbankan Indonesia jika the Fed terus agresif menaikkan suku bunganya.

"Sementara kita ini tampaknya suku bunga rendah padahal yang menikmati konglomerat karena UMKM, rakyat kecil kan tidak menikmatinya? Kalau kita telat mengantisipasi langkah the Fed nanti sudah terlambat," papar Hardjuno.

Sementara itu, Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan pokok masalahnya adalah bank melihat UMKM jauh lebih berisiko dibanding segmen korporasi. Padahal kenyataannya, justru UMKM lah yang menjadi penyelamat setiap ada hantaman krisis ekonomi.

Akibat cara pandang yang salah itu, bank terjebak pada dua pilihan, parkir dana di surat utang dengan bunga 6-7 persen dengan risiko rendah atau menyalurkan kredit korporasi.

"Pola ini harus diubah lewat regulasi, misalnya dengan mengembalikan aturan porsi kredit minimum UMKM bukan dengan kebijakan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) seperti yang ada sekarang. Memang kurang fair, UMKM yang porsinya besar ke PDB, dan serapan tenaga kerja 97 persen, tapi kesulitan mengembangkan usaha karena akses kredit," papar Bhima.

Setelah pandemi, banyak UMKM juga terkendala modal untuk bangkit kembali. Seharusnya intervensinya memang lewat kebijakan OJK dan BI dengan mengevaluasi RIM.

Pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan upaya untuk meningkatkan rasio kredit UMKM itu banyak yang harus dibenahi seperti legalitas UMKM, agunan atau kolateral, laporan keuangan yang rapi.

"Paling tidak beberapa hal itu harus dibenahi agar UMKM bisa mengajukan kredit ke bank. Dan ini perlu keberpihakan pemerintah ke arah itu," tandasnya.

Baca Juga: