Oleh Agus Riewanto

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo, mengusulkan dua perwira tinggi aktif Polri menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara. Mereka adalah Asisten Kapolri bidang Operasi, Irjen M Iriawan, dan Kadiv Propam Polri, Irjen Martuani Sormin. Alasannya, untuk menjaga pelaksanaan pilkada aman karena di dua provinsi ini rawan konflik. Penjabat Gubenur Polri diharapkan dapat menjaga harmoni di daerah.

Sikap Mendagri mendapat perhatian karena penjabat gubernur dari kalangan Polri aktif justru akan mengaburkan makna menjaga harmoni, bisa-bisa malah melahirkan masalah. Sebab bertentangan dengan prinsip demokrasi. Polri aktif tidak boleh terlibat dalam politik praktis.

Kemudian juga bertentangan dengan UU No10 Tahun 2010 tentang Pilkada di mana pejabat tinggi madya harus berasal dari Pegawai Negeri Sipil lingkungan pemerintah pusat atau daerah, bukan Polri. Netralitas Polri dalam Pilkada tahun 2018 tak bisa disepelekan. Maka, perlu mencegah Polri berpolitik praktis.

Pilkada serentak gelombang ketiga tahun 2018 berlangsung di 171 daerah. Pendaftaran pasangan calon kepala daerah dan wakil sudah dilakukan. KPU akan menetapkan pasangan calon pada 12 Februari 2018. Tercatat dari 569 calon kepala daerah, 9 di antaranya dari TNI dan 8 Polri. Mereka berpangkat Jenderal hingga bintara dan tamtama. Status mereka ada yang mengajukan pensiun dini dan masih aktif.

Magnet Pilkada tahun 2018 sangat tinggi karena mampu memikat hati anggota Polri dan TNI ikut berkompetisi meraih jabatan sipil. Kini posisi jabatan kepala daerah bergengsi karena mampu menjadi jembatan meraih tiket ke puncak kekuasaan nasional. Tidak sedikit tokoh nasional kini berasal dari daerah. Presiden Jokowi contoh inspiratif tokoh lokal. Dia dari Solo mampu meraih kekuasaan Gubernur DKI Jakarta dan Presiden RI.

Karena itu, tidak salah para prajurit TNI/Polri pun mencoba meraih peruntungan dalam kompetisi Pilkada. Namun publik khawatir institusi TNI/Polri tidak netral dalam pilkada sebab beberapa calon masih aktif. Mereka hanya di non-job. Mereka baru akan mengundurkan diri dari keanggotaan Polri ketika telah ditetapkan menjadi calon KPU pada tanggal 12 Februari 2018.

Pasal 7 huruf t UU No 10/2016 tentang Pilkada tertulis, pernyataan tertulis pengunduran diri sebagai anggota Polri dilakukan setelah ditetapkan sebagai pasangan calon. Namun, jeda waktu ini tak cukup menjamin Polri untuk netral. Sebab watak komando dalam kedua institusi ini sangat berpotensi mendorong loyalitas anggota ke atasan.

Jika Perwira aktif Polri diangkat menjadi penjabat gubernur dan kian hari banyak anggota Polri tergiur dalam kompetisi pilkada, dikhawatirkan dapat mengganggu soliditas dan penjenjangan karier yang meritokratis dan profesional di tubuh Polri. Ada sinyalemen kuat institusi Polri hanya akan menjadi batu loncatan menuju tangga jabatan politik.

Revisi UU

Padahal sejak semula Polri didesain sebagai institusi profesional menjaga kedaulatan negara dan penegakan hukum serta ketertiban. Itulah sebabnya pola rekrutmen, pendidikan, pelatihan, dan penjejangan karir di Polri berbeda dari sipil.

Guna mencegah Polri tak hanya menjadi kendaraan sejumlah anggota yang ambisius politik, sudah seharusnya ada regulasi tegas larangan selama menjadi anggota Polri tidak boleh terlibat dalam politik, kendati mendekati usia pensiun. Karena para calon kepala daerah umumnya mencalonkan diri menjadi beberapa tahun jelang pensiun.

Larangan tegas melalui revisi UU Polri yang mengatur sejak menjadi anggota Polri hingga pensiun loyal pada negara. Kedua UU ini mengatur pakta integritas anggota Polri tidak berpolitik praktis hingga pensiun. Ini untuk mengembalikan kodrat Polri institusi yang didesain hanya loyal untuk menjaga ideologi negara dari kepentingan pragmatis. Dengan demikian ketika negara berada dalam situasi genting sekalipun masih ada institusi yang bersifat netral.

Maka andai anggota Polri yang mencalonkan diri kepala daerah cukup mundur atau pensiun dini, langsung maupun tidak, masih terdapat ikatan emosional antara institusi Polri dan anggotanya terhadap calon. Apalagi budaya politik Indonesia masih paternalistik yang menempatkan posisi atasan sebagai patron, bawahan klien.

Polri perlu menyusun road map reformasi penjejangan karir yang meritokratis, professional, dan terjamin kesejahteraannya. Cara ini akan dapat menghindari para anggota TNI/Polri lompat pagar menjadi politisi.

Penulis Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS

Baca Juga: