Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) merilis Laporan Kehidupan Beragama di Indonesia, Edisi III/Januari 2018. Tema yang diangkat Polemik Tafsir Pancasila. Laporan tersebut menyoroti kehidupan beragama yang sepanjang tahun 2017 didominasi kebangkitan Pancasila.
Selain pendirian UKP-PIP yang kini telah menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), kebangkitan Pancasila juga ditengarai oleh tindakan hukum atas organisasi kemasyarakatan yang dinilai anti-Pancasila. Tentu yang dimaksud ialah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan berdasarkan UU Ormas No 2/2017. Laporan ini kemudian menghadirkan polemik tentang tafsir Pancasila.
Pertanyaannya, apa dasar parameter, sebuah organisasi dinyatakan sebagai anti-Pancasila? Pertanyaan lalu menukik ke persoalan filosofis apa yang menjadi ukuran, sebuah penafsiran terhadap Pancasila dinyatakan sebagai paling pancasilais? Bukankah di dalam dirinya, Pancasila mengandung kontradiksi dan hanya memuat nilai-nilai yang saling terpisah? Artikel ini hendak menjawab pertanyaan tersebut yang tidak hanya dilontarkan laporan CRCS, tetapi juga sebagian masyarakat.
Berdasarkan pertanyaan ini, pelarangan terhadap HTI dianggap mencederai kebebasan berserikat yang merupakan hak-hak demokratis. Apakah memang demikian? Polemik tentang "apa itu Pancasila" memang menjadi persoalan sepanjang zaman. Di awal tahun 1950- an, polemik pernah dilakukan Muhammad Yamin dan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).
Yamin menjadi bagian dari kubu Presiden Soekarno yang menempatkan Pancasila sebagai filsafat negara. Atau meminjam istilah Bung Karno, dasar filsafat (philosophische grondslag). Dengan filsafat, Pancasila dimaksudkan sebagai sistem nilai yang utuh dan komprehensif secara ilmiah. Sedangkan STA mewakili kelompok yang sanksi dengan pandangan tersebut.
Bagi STA, Pancasila hanyalah kompromi politik berisi sila- sila yang tercerai-berai. Tak layak disebut filsafat, apalagi filsafat utuh. Namun sebagai kompromi politik, Pancasila efektif mempersatukan berbagai kelompok berbeda. Secara eksplisit, laporan CRCS sepakat dengan pandangan STA (CRCS, 2018:3).
Kesanksian seperti ini memang bisa dimaklumi karena hingga kini, bangunan filsafat Pancasila belum tuntas dirumuskan. Misalnya, apakah paradigma Pancasila. Bisakah dijadikan paradigma ilmu, hukum, beragama, hingga berorganisasi. Ini belum terjawab. Tetapi perumus filsafat Pancasila dari UGM, Prof Notonagoro (1975), sejak awal telah membangun cara memahami Pancasila dengan tepat.
Cara tersebut merujuk pada pembacaan atas lima sila secara saling terkait, saling mengandaikan, dan mengunci. Jadi, bukan sebagai lima kalimat yang tercerai-berai. Maka, sila pertama mengandaikan (mengandung) sila kedua dan dikunci sila kedua. Sila kedua mengandung sila pertama dan dikunci sila pertama, demikian seterusnya.
Dalam konteks beragama, dilarang mengamalkan ajaran Tuhan dengan mengorbankan nyawa manusia (terorisme), karena itu memutus keterkaitan sila pertama dan kedua. Demikian pula dalam berorganisasi, dilarang berorganisasi (bagian dari hak asasi manusia sila kedua) yang mencederai kebangsaan (sila ketiga).
Jika HTI ingin mendirikan khilafah yang bersifat global, akan meruntuhkan bangunan negara-bangsa Indonesia, jelas bertentangan dengan Pancasila. Model khilafah yang teokratis juga bertentangan dengan kedaulatan rakyat karena atas nama Daulat Tuhan, khalifah dan bukan rakyat yang berkuasa. Hal ini jelas bertentangan dengan Pancasila.
Namun kesanksian ini sebenarnya bersifat ahistoris karena sejak digagas Bung Karno, Pancasila ditempatkan sebagai dasar filsafat. Sehingga maksud dari Pancasila Dasar Negara ialah sebagai dasar (filsafat) negara. Sebagai filsafat, dia tentu memuat keapaan ( ontologi), cara-berpikir (epistemologi) dan cara bertindak (aksiologi) yang khas Pancasila.
Ide Awal
Tentang "keapaan Pancasila" bisa merujuk pada ide paling awal yang memungkinkan Pancasila eksis. Ide itu awalnya berada di ranah kehidupan (lebenswelt) yang telah diangkat dan diramu Bung Karno menjadi Pancasila.
Ide awal itu, hasrat Bung Karno untuk membangun persatuan nasional, melalui sintesis antartiga ide, ideologi, dan kelompok gerakan kemerdekaan terbesar, yakni Islam, nasionalisme, dan sosialisme. Hanya, persatuan bukan sebagai tujuan. Sebagaimana kemerdekaan RI saat itu, persatuan menjadi "jembatan emas" bagi kesejahteraan rakyat.
Maka Bung Karno menambahkan kata sosio (socius, teman) pada nasionalisme (sosio nasionalisme) yang menekankan dimensi keadilan sosial dalam karakter kebangsaan. Dari ontologi ini, cara berpikir khas Pancasila pun terbangun. Cara berpikir itu bersifat menyatukan (sintetis) yang berawal dari transendensi dan berujung pada transformasi (keadilan sosial).
Dari epistemologi Pancasila semacam ini, maka lahirlah etika Pancasila, demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, dll. Mengapa komunisme dilarang atas nama Pancasila? Karena dia tak sesuai dengan struktur filsafat Pancasila tersebut. Komunisme tak menyatukan keadilan sosial dengan demokrasi.
Demikian pula mengapa HTI dilarang? Karena dia memutus kesatuan nilai-nilai ketuhanan dengan persatuan bangsa dan prosedur demokratis. Dengan demikian, menentukan "parameter Pancasila" terhadap cara berpikir pancasilais sangat memungkinkan.
Parameter ini sekali lagi tidak ditentukan oleh otoritas politik sehingga melahirkan tafsir tunggal berbasis kekuasaan, tapi prinsip-prinsip memahami yang tepat, berdasarkan rumus ilmu pengetahuan. Mungkin karena trauma dengan monolitisisme tafsir Pancasila oleh kekuasaan yang lalu, sebagian kalangan alergi dengan perumusan sistem pengetahuan Pancasila.
Namun, masa itu telah berlalu, digantikan otoritas metode ilmu dalam merumuskan Pancasila. Pendekatan seperti inilah yang kini dikembangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dia menempatkan Pancasila sebagai ilmu, bukan ideologi kekuasaan. Sebagai rumusan ilmu, sebuah penafsiran atau pemikiran Pancasila sangat terbuka bagi perdebatan.
Tetapi di dalam debat itu, tetap ada definisi "Pancasila" yang dibangun berdasarkan metode ilmiah. Maka, pertanyaan yang diajukan laporan CRCS atau yang senada, tak perlu dipolemikkan karena ukuran tafsir Pancasila adalah ilmu pengetahuan.
Dengan ukuran itu, negara berhak melakukan langkah-langkah hukum untuk melindungi Pancasila karena berarti melindungi dasar dan tujuan bernegara. Jadi, masihkah harus dipolemikkan?
Syaiful Arif, Tenaga Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila