Penggunaan batu bara yang menghasilkan emisi tinggi sebagai bahan bakar pembangkit listrik itu sumber utama polusi di Jakarta.

JAKARTA - Salah satu kebijakan pemerintah mengurangi polusi di Jabodetabek dengan meliburkan sebagian sekolah dan meminta Aparatur Sipil Negara (ASN) bekerja dari rumah selama berlangsungnya KTT Asean, tidak terlalu berpengaruh signifikan pada perbaikan kualitas udara di Ibu Kota.

Polusi udara pada hari pertama KTT, Selasa (5/9), tetap berbahaya bagi kesehatan. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mengatakan kebijakan tersebut tidak efektif. Buktinya, kemacetan tetap terjadi dan tingkat polusi di Jakarta masih tinggi, bahkan 12 kali lipat lebih tinggi dari standar WHO.

Trubus mengungkapkan masih tingginya polusi udara membuktikan sektor transportasi bukan satu-satunya penyebab utama polusi di Jakarta. Penyebab polusi sangat kompleks sebab berkaitan dengan aktivitas masyarakat. Sebab itu, diperlukan data pembanding agar intervensi polusi udara tidak hanya menggunakan satu data saja dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Pemerintah terlalu percaya data dari KLHK, tanpa ada data pembanding. Diharapkan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) bisa memberi data juga. Kalau datanya dari pemerintah, berarti pembuatannya bisa jadi berdasarkan kebutuhan pemerintah juga," tegas Trubus.

Penyebab polusi di Jakarta beragam, mulai dari penggunaan batu bara, baik di pabrik maupun PLTU, dan pembakaran sampah. "Bahwa transportasi menyumbang terhadap polusi itu benar, tapi apakah ini paling besar? Butuh data yang lebih komprehensif," kata Trubus.

Terkait dengan polusi, oleh berbagai kalangan, pemerintah didesak mengakui kalau Jakarta itu dikepung polusi dan kondisi semakin buruk karena tiupan angin laut yang membawa ke dalam kota. Sepanjang pemerintah tidak mengakui kalau penyebab polusi adalah kendaraan bermotor dan PLTU batu bara, maka masalahnya tidak akan selesai.

Beberapa wacana seperti electronic road pricing (ERP) atau jalan berbayar sudah berkali-kali hendak diterapkan, tetapi selalu gagal karena diduga salah satu produsen kendaraan terbesar di Tanah Air tidak setuju.

Padahal, kendaraan pribadi seharusnya diganti dengan transportasi umum yang memadai seperti bus yang tiap 5 menit ada. Dengan frekuensinya yang tinggi maka penumpang tidak pernah merasa harus memunyai kendaraan.

Masalahnya, anggaran pemerintah tidak pernah diarahkan ke hal yang paling efisien itu. Kalau itu dilakukan maka dana yang dihemat luar biasa besarnya. Sebenarnya kalau pemda bertekad, maka pendapatan dari pajak lain akan naik. Sebaliknya, kalau publik dibuat terperangkap dalam perjalanan kemacetan maka akan menggerus daya beli masyarakat, sehingga perekonomian turun, termasuk pendapatan daerah.

Saat ini di Jakarta, 50 persen waktu atau hampir 13 jam dihabiskan di luar rumah, sehingga hubungan dengan keluarga tidak produktif. Kondisi tersebut dibiarkan selama puluhan tahun, karena kepentingan industri otomotif pasti bertentangan dengan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Kalaupun mau membuat jalan baru, tidak akan mungkin karena sebelum selesai, mobil sudah penuh duluan. Makanya, jalan tol sekali pun macet. Hal itu sebagai pertanda pembangunan daerah sudah jelek sekali. Di jalur bus, itu seharusnya tidak ada mobil lain. Kalau itu dibuat dengan benar maka masyarakat tidak perlu beli kendaraan bermotor dan tidak perlu marah jika kredit macetnya ditagih.

Mental tersebut sama dengan mental pemerintah Indonesia yang gemar berutang tetapi berharap ada sistem keuangan global yang lebih adil seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo ketika bertemu Presiden Bank Dunia, Ajay Banga.

Bagaimanapun, kredit yang macet harus ditagih. Sumber masalahnya di Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan Obligasi rekapitalisasi perbankan. Ini harus dihentikan.

Dibuka ke Publik

Pengkampanye iklim dan energi Greenpeace, Bondan Andriyanu, mendesak pemerintah untuk membuka ke publik industri pemicu emisi.

"Seharusnya dibuka ke publik, karena pelaku industri sudah diwajibkan untuk memasang CEMS (continuous emissions monitoring system) yang datanya masuk ke server KLHK, tinggal dibuka saja," katanya.

Untuk menanggulangi emisi, di mengatakan langkah-langkah yang harusnya diambil adalah meminta Presiden dan KLHK mencabut kasasi dalam gugatan warga negara mengenai polusi udara yang sudah dimenangkan sejak 2021.

"Tinggal melaksanakan perintah hakim dalam putusan yang sudah lengkap dan juga melekat kepada Jawa Barat dan Banten bukan hanya Jakarta. Karena ada polusi udara lintas batas," tegasnya.

Lebih lanjut, dia meminta pembuatan baseline data sumber pencemar udara secara berkala, bukan hanya Jakarta, tapi juga Jawa Barat dan Banten.

Bondan juga meminta agar menambah alat pantau udara yang representatif yang akan memberikan early warning system (sistem peringatan dini) ketika polusi udara sedang tidak sehat. Dengan adanya peringatan dini maka masyarakat untuk melindungi dirinya agar tidak terpapar oleh polusi udara.

"Jadikan angka korban dan kerugian ekonomi akibat polusi udara menjadi dasar pengambilan kebijakan untuk membuat kebijakan yang benar-benar bisa mengendalikan sumber pencemaran udara salah satunya adalah penggunaan bahan bakar fosil termasuk untuk keperluan industri," tegasnya.

Sementara itu, Dosen Departemen Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Arry Febrianto, mengatakan, kebijakan WFH dan wacana pengadaan kendaraan listrik itu langkah baik, namun tetap perlu dilihat faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi kualitas udara Ibu Kota.

"Penggunaan batu bara yang menghasilkan emisi tinggi sebagai sumber bahan bakar pembangkit listrik itu sumber utama polusi di Jakarta," tutur Arry.

Baca Juga: