PLTSa dianggap sebagai sebuah proyek teknologi pengolah sampah yang ramah lingkungan dan dinilai bisa mengatasi permasalahan karena mampu mengurangi timbunan sampah dalam jumlah signifikan dan waktu yang relatif cepat. PLTSa juga termasuk ke dalam pembangkit listrik yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT), sehingga PLTSa dapat turut mengurangi ketergantungan akan energi fosil serta mendukung upaya konservasi energi. Selain itu, dalam jangka panjang, PLTSa juga dinilai mampu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pengelolaan sampah yang dilakukan. Hal ini dikarenakan sisa dari sampah organik yang ditimbun sebelumnya menghasilkan gas metana (CH4) yang merupakan gas rumah kaca, sehingga proyek PLTSa dimungkinkan untuk dapat mengurangi emisi gas rumah kaca tersebut.
Di sisi lain, PLTSa juga menghadapi berbagai tantangan dalam pengembangannya serta menuai berbagai reaksi sosial dari masyarakat. Tantangan yang dihadapi ialah ketidakseragaman pemberian Biaya Layanan Pengolah Sampah (BPLS) pada tiap daerah, minimnya alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kebersihan dan pengelolaan sampah, serta tingginya modal awal. Pembiayaan dalam PLTSa harus sangat diperhitungkan karena proyek PLTSa ini mencakup dua komponen, yaitu pengolahan sampah dan pembangkit listrik. Sebagai contoh, biaya pre-treatment dibutuhkan jika pemilahan antara sampah organik dan anorganik pada sumbernya belum dilakukan.
Masalah lainnya yaitu banyaknya sampah rumah tangga di Indonesia yang bersifat basah, dengan nilai kalori yang rendah, sehingga harus diberikan perlakuan khusus untuk mengatasi masalah tersebut. Cara untuk mengatasinya yaitu dengan mengeringkan sampah basah terlebih dahulu dan melakukan proses pemampatan sebelum proses pembakaran dilakukan.
Sementara itu, reaksi sosial yang umumnya terjadi ialah penolakan dari masyarakat yang khawatir apabila PLTSa ini justru mencemari lingkungan akibat emisi gas berbahaya, bau, maupun air limbah yang dikeluarkan dari PLTSa tersebut. Penolakan juga muncul karena kekhawatiran bahwasanya PLTSa ini bisa memutus roda perekonomian masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari sampah yang ada di TPA.
Jika ditinjau lebih lanjut, tidak semua aspek dalam pembangkit listrik jenis ini bersifat menguntungkan. Beberapa kendala justru terjadi seiring dengan proses pengoperasiannya. Proses pembakaran itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari lepasnya bahan berbahaya yang dapat mencemari udara serta dihasilkannya sisa abu pembakaran yang berbahaya bagi lingkungan. Lantas, bagaimana upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi hal ini?
Dalam proses pembakaran sampah yang dilakukan, teknologi pembakaran yang digunakan harus efektif dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Polutan yang lepas ke udara juga akan dikendalikan dengan dilakukannya penyaringan mendalam agar asap yang lepas ke udara sesuai dengan standar baku mutu emisi gas buangan.
Sisa lain dari pembakaran sampah yaitu abu yang tergolong dalam limbah bahan berbahaya dan racun (B3). Oleh karena residu tersebut dianggap berbahaya, maka daur ulang harus dilakukan. Abu hasil pembakaran dapat diolah menjadi berbagai bahan bangunan seperti batako.